Empat Puluh Dua

6.8K 287 2
                                    

Entah mengapa, Anya merasa tak asing.

Saat Kevan menciumnya dengan intens, Anya merasa sesuatu yang aneh mulai memenuhi kepalanya. Tiba-tiba Anya teringat perkataan Kevan sebelumnya; bahwa Anya mungkin akan mengingat soal malam itu setelah ciuman ini. Apakah ini maksudnya?

Anya ingin menghentikan ini dan meminta Kevan untuk menjelaskan sesuatu. Namun, Kevan sudah tak bisa dihentikan. Pria itu mulai mabuk dengan gairahnya, bahkan tak sabar melepas jubah kimono Anya sebelum membaringkannya ke kasur.

Cahaya remang masih dapat membuat Anya melihat tatapan intens Kevan untuknya. Di atas pembaringan, Anya melihat Kevan membuat posisi merangkak di atasnya, membuat jantung Anya semakin bertalu-talu.

Tubuhnya sudah sepenuhnya telanjang, tapi dia tak merasa malu. Kalaupun dia harus malu, dia harus ingat bahwa dirinya bukan gadis lagi.

Ini saatnya memamerkan tubuh terawat kepada seorang pria. Tapi mengapa lagi-lagi, Anya merasa tak asing dengan ini?

"Aku yakin ini pertama kalinya aku telanjang di depanmu. Tapi kenapa rasanya ... aku seperti déjà vu?"

Kevan menyeringai samar. "Déjà vu apanya? Karena ini bukan yang pertama kali, makanya kau merasa tidak asing. Sudah kubilang dari awal, 'kan? Kita pernah seintim itu sebelumnya."

Anya membuang muka. "Omong-kosong."

"Apa ciuman tadi masih belum cukup untuk mengembalikan ingatanmu?"

Anya kembali menatap Kevan dengan kening berkerut. "Kau serius menganggapku amnesia?"

"Antara amnesia dan lupa karena mabuk. Tapi kurasa kau memang amnesia. Waktu itu banyak hal yang terjadi padamu, wajar kau tertekan dan melupakan hal penting."

Kevan meraih selimut dan meletakkan ujung selimut ke punggungnya. Entah karena kamar yang dingin, atau memang Kevan tahu bahwa bercinta dalam selimut merupakan adab yang baik, Anya tak bisa bertanya-tanya soal itu sekarang.

Pria itu kemudian menindih dan merengkuh tubuh Anya, membuat Anya terkesiap dan refleks memalingkan wajah. Celah itu malah Kevan gunakan untuk mengendus leher istrinya itu. Anya jadi berpikir kalau dirinya benar-benar tak bisa menghindar lagi kali ini.

"Sebenarnya aku sakit hati karena dilupakan. Tapi sekarang itu tidak penting lagi. Aku akan membalaskan dendamku sekarang."

**

Musim gugur dua tahun lalu, di klinik psikologi milik Lucas Murphy.

"Apa kau percaya reinkarnasi, Dokter?" tanya Anya sambil menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong.

Lucas ikut melihat ke arah jendela sekilas, lalu kembali menatap pasiennya. "Aku percaya manusia diberi jatah hidup di dunia hanya satu kali."

"Lalu setelah mati, manusia akan jadi apa? Menghilang begitu saja?"

Lucas curiga pasiennya sudah membahas soal mati. Apa Anya mulai berpikir untuk menyudahi hidupnya?

"Manusia akan pergi ke alam lain," jawab Lucas. "Ke alam di mana kau bisa beristirahat, juga disiksa."

"Apa kau mengutip dongeng dari agama?"

"Tidak adil jika orang jahat di dunia ini ketika mati tidak mendapatkan balasan atas kejahatannya. Tidak adil jika orang baik di dunia ini ketika mati tidak mendapatkan apresiasi atas kebaikannya. Karena itu, harus ada alam lain yang menjadi tempat pembalasan atas apa yang sudah semua manusia lakukan di dunia."

"Berarti agama hanya egoisme orang baik?" balas Anya. "Karena kau tau kau tidak bisa apa-apa menghadapi orang jahat, kau menanamkan kepercayaan dalam dirimu hanya agar kau merasa tenang."

Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang