Tiga Puluh Sembilan

7.7K 388 2
                                    

Beberapa saat setelah Kevan merajuk entah ke mana, seseorang kemudian bertamu ke penthouse mereka. Yang membuka pintu tentu saja Kevan. Anya hanya mengintip dari balik pilar.

Ternyata yang bertamu bukan hanya satu orang saja, melainkan beberapa orang. Sebenarnya tak bisa disebut sebagai tamu, sebab mereka hanya pekerja yang datang untuk membawa semua hadiah pernikahan Kevan dan Anya.

Begitu semua hadiah sudah disusun dan dikumpulkan di permadani yang luas, para pekerja yang mengantar hadiah-hadiah itu pun segera pamit. Anya yang sejak tadi bersembunyi di balik pilar, langsung keluar dari persembunyiannya untuk melihat hadiah-hadiah itu dari dekat.

Anya ini, sebenarnya uangnya banyak. Dia bisa mengelola uangnya dengan baik hingga dia mampu membeli unit apartemen dan rumah beserta perabotannya dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri. Bahkan mobil pun, dia membeli dengan uangnya sendiri. Meski dia cucu seorang mafia tajir, mana pernah dia mengemis uang pada kakeknya itu.

Meski Anya punya banyak uang dan bisa membeli apa saja yang dia mau, tak dipungkiri dirinya masih punya sisi yang kekanakan.

Anya suka kado dan hadiah. Walau dia bisa membeli barang-barang apa pun—apalagi saat ini dia bisa minta apa saja pada Kevan—ternyata Anya masih suka berdebar-debar kalau melihat kado dan hadiah. Sekecil apa pun harga barang di dalam kado yang akan dia buka, dia akan menghargainya dengan sepenuh hati.

"Asyik!" seru Anya senang. Saat Kevan menoleh, Anya menatap pria itu dengan wajah semringahnya.

Sejenak, Kevan hanya diam. Lalu, dengan wajah datarnya, Kevan berlalu tanpa berkata-kata. Tentu saja sikap Kevan itu membuat senyum cerah Anya luntur. Melihat dari mana pun, reaksi yang Kevan tunjukkan saat orang lain tengah senang, itu sangat tidak sopan!

Anya menatap punggung Kevan yang berlalu dengan senyum kecut. Anya tak perlu pura-pura tak tahu. Kevan pasti masih merajuk soal tadi. Ya sudahlah, biarkan saja. Lebih baik Anya membongkar kado sekarang. Tapi dia tiba-tiba teringat soal ratusan email yang masuk. Karena tak mungkin dirinya akan mengambil semua kasus, dia berencana akan mengambil kasus yang mempertaruhkan anak-anak.

Ah, itu bisa dipikirkan nanti. Sekarang, lebih baik dia membuka semua kado dan bersenang-senang dengan itu.

**

"Kapan kau akan mengambil kucingmu? Dia uring-uringan karena sudah lama tidak bertemu tuannya."

Kevan menatap jauh langit yang putih suram. Kemudian menjawab pertanyaan seseorang yang berbicara di ponselnya.

"Kau meneleponku hanya untuk ini? Jangan mengeluh. Aku selalu membayarmu."

Seorang pria di seberang sana lantas menghela napas panjang. "Aku hanya khawatir dia akan memakanku kalau aku tidak juga membawanya pulang padamu."

"Jangan berlebihan. Dia hanya kucing."

"Di matamu memang hanya kucing. Tapi di mataku tentu saja berbeda!"

"Kau kekurangan uang? Butuh berapa?"

"Hmm. Kurasa tujuh ribu dollar cukup membuatku merasa lebih baik."

"Akan kutransfer, jadi berhentilah mengeluh."

Pria di seberang terkekeh. "Kau memang pengertian. Omong-omong, selamat atas pernikahanmu. Maaf tidak bisa hadir, tapi aku sudah mengirim hadiah ekslusif untukmu—pastikan kau akan membuka kado dariku. Apa kau memperlakukan istrimu dengan baik? Kau terobsesi padanya selama ini. Aku khawatir kau malah membuatnya tidak nyaman."

"Tentu saja dia tidak nyaman. Kaupikir dia seperti wanita rendahan di luar sana? Hanya karena aku tampan dan kaya, itu tidak membuatnya langsung menyerahkan tubuhnya padaku. Lebih penting dari itu ... dia benar-benar keras kepala."

Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang