Lima Puluh

7.7K 423 1
                                    

Kevan yang memilih berbaring sembari menghadap langit-langit usai bercinta panas dengan istrinya mulai tersenyum-senyum sendiri. Itu tak lain ialah karena Anya yang berbaring tengkurap sejak tadi menatapnya tanpa berpaling.

"Kenapa kau tersenyum?" ketus Anya, menatap Kevan tidak suka.

"Kenapa? Ini bibirku, terserahku mau tersenyum atau tidak."

Kevan mengangkat tangannya untuk menjangkau leher Anya. Belum sempat sampai, Anya sudah lebih dulu menggigit telunjuk Kevan. Membuat Kevan secara refleks menarik tangannya sembari terkekeh.

"Jangan sentuh aku," desis Anya.

"Kenapa? Kau takut terangsang lagi? Aku hanya ingin menyentuh bekas gigitanku. Apa itu sakit?"

"Justru itu. Semua tubuhku sakit, jadi tolong jangan sentuh aku lagi."

"Hmm. Lalu bagaimana denganku? Lihat." Kevan menunjuk leher, pundak, dan dadanya. "Penuh kissmark dan cakar kukumu. Kalau mandi, ini bisa sangat perih, tau."

Anya memasang wajah datar. "Kau sedang menyalahkan siapa?"

"Tidak ada. Aku hanya ingin kau tau kalau ekspresimu saat bercinta sangat menyeramkan."

"Justru yang menyeramkan itu kau! Aku tidak tau mana engselku sekarang yang masih berfungsi!"

Kevan pura-pura terkejut. "Bicara soal engsel, bukankah engsel pinggangku lebih layak untuk dibahas? Aku tarik-ulur pinggul demi membuatmu senang."

"Cih. Apa hanya itu yang bisa kaukatakan?"

"Kau sendiri yang membahas itu lebih dulu."

Anya menyipitkan mata. "Kau benar-benar tidak suka disudutkan, ya? Sejak awal, kau tidak pernah mau disalahkan."

"Ayolah, Ann. Padahal kau sudah jatuh hati padaku. Tapi kenapa kau masih galak begini?" Kevan mengedipkan sebelah matanya. Kedip buaya. "Setidaknya berterimakasihlah untuk malam yang membuatmu berkali-kali terpekik manja."

Dengan ekspresi datarnya, Anya meraih bantal dan melemparkan bantal itu ke wajah Kevan. Lekas Anya ganti posisi baringnya, berbaring menyamping; membelakangi Kevan. Meski dia rasakan gerakan saat Kevan beringsut lebih dekat dengannya, Anya tetap bergeming. Bahkan ketika Kevan memeluknya dari belakang, Anya seperti tak ada niat untuk menepis tangan Kevan. Apalagi beranjak dari posisinya.

"Anya." Kevan menyebut nama Anya dengan pelan.

"Hm."

"Tidak ada yang memanggilmu. Aku hanya menyebut namamu saja."

Satu cubitan mendarat di tangan Kevan yang tengah merengkuh pinggang Anya. Mendapati itu, Kevan malah tertawa.

"Kau yakin kita tidak perlu bulan madu, Sayang?" tanya Kevan. Nada suaranya yang rendah seakan-akan memberitahu bahwa dirinya mulai mengantuk.

"Sudah kubilang, aku hanya akan jalan-jalan saat musim semi."

"Hmm." Kevan membuang napas. "Aku tidak yakin apa aku masih bisa mengambil cuti setelah ini. Pekerjaanku menumpuk. Sekretarisku pasti juga sudah sekarat sekarang karena merampung pekerjaanku."

"Kenapa memikirkan cuti? Kau kan punya weekend."

"Maksudmu, kita hanya honeymoon selama dua hari?"

"Tidak perlu menginap. Aku juga tidak berencana mengajakmu ke luar negeri. Paling-paling aku hanya akan pergi ke taman bunga, atau ke pantai. Kalau hanya di Cezar, kita kan tidak perlu menginap."

Kevan meringis. "Seleramu benar-benar standar, ya?"

"Aku tidak akan minta maaf untuk itu."

"Baiklah ... baiklah." Kevan terkekeh dengan suara rendah, terdengar seksi di telinga Anya entah bagaimana. "Asal denganmu, ke mana pun akan menyenangkan. Yang jadi masalah hanya jika kau tidak ada."

Anya tersenyum tipis. Dia memejam matanya saat Kevan mengecup pelipisnya sebelum menyuruk di ceruk lehernya.

"Selamat tidur," bisik Kevan. "I love you."

Ketika mulut Anya terbuka, Anya seketika bertanya-tanya pada dirinya sendiri; apakah dia hendak membalas ucapan cinta Kevan? Apa boleh secepat itu? Padahal dia belum yakin dengan perasaannya sendiri.

Pada akhirnya, Anya memilih untuk mengatup bibirnya kembali.

**

Esok harinya, setelah sarapan, Kevan membantu Anya mencuci piring. Sedangkan Anya malah bermain dengan Lizzy. Saking bersemangatnya, Anya sampai lupa bahwa sebelumnya dia sempat takut sekali dengan Lizzy. Kini, bahkan saat Lizzy menggigit manja tangannya, Anya justru malah tertawa girang.

Kevan menyeringai sambil geleng-geleng kepala. Seraya kembali fokus pada cuciannya, Kevan berkata, "Hati-hati. Kadang-kadang Lizzy lupa kalau gerahamnya sangat kuat. Jangan sampai tanganmu patah karena digigit."

Anya mengusap kepala Lizzy yang masih menggigit tangannya. Saat ini Anya mengenakan sweater, jadi kulit Anya tak akan bersentuhan langsung dengan gigi Lizzy.

"Lepas tanganku, Jan. Kata orang itu, kamu kadang-kadang lupa kalau gigimu bisa meremukkan tulang."

"Jan? Kenapa kau menyebutnya jan?" tanya Kevan penasaran.

Anya mendongak, menatap Kevan tanpa ekspresi. "Oh, ya. Mulai sekarang aku akan memanggilnya Jantan."

Sejenak tercengang, Kevan lantas menyeringai. "Jangan mengubah nama seenaknya. Kau sendiri memangnya suka kalau namamu diubah-ubah?"

"Kalau begitu, setidaknya berikan dia nama maskulin untuk harimau jantan!"

"Apa kau punya masalah dengan nama Lizzy?"

"Masalahnya Lizzy itu nama betina!"

"Itu tidak penting untuk hewan. Sudahlah, aku tidak ingin ribut soal ini. Bagaimana kalau kita ajak Lizzy berenang di kolam air hangat? Kau pasti belum pernah melihat kolam renangku, 'kan?"

Sejurus kemudian, Anya sampai di kolam renang yang masih ada di dalam penthouse milik suaminya. Uap hangat dari permukaan kolam membuat Anya ingin berendam, tapi mengingat Kevan suka mencari kesempatan dalam kesempitan, lebih baik Anya berjaga-jaga untuk tidak menarik perhatian pria itu.

Kolam renang itu tingginya mencapai dada orang dewasa. Ukurannya tak terlalu besar, tapi cukup untuk melatih kemampuan renang. Air terjun di dinding sana yang disinari oleh neon biru terlihat indah. Nuansa biru muda dengan jendela bundar di dinding seberang membuat ruangan ini dijamin nyaman untuk dijadikan tempat bersantai dalam waktu yang lama.

Kevan melangkahi tangga di dalam kolam untuk berendam. Anya lalu melihat Lizzy menyentuh kolam sambil mendesis. Itu terlihat menggemaskan.

"Come on, Lizzy. Ini air hangat. Kau akan suka."

Lizzy lantas menyambut kedua tangan Kevan dan mulai mengapung di permukaan air. Anya yang sudah duduk di pinggir kolam lantas tertawa melihat Kevan seperti sedang mengajari seorang anak berenang. Namun, ternyata Lizzy sudah tidak asing dengan ini. Begitu Kevan melepas tangannya, Lizzy segera menggunakan kedua kakinya untuk menapaki lantai kolam agar kepalanya tetap berada di permukaan air.

Saking fokusnya memerhatikan tingkah menggemaskan Lizzy, Anya jadi kehilangan Kevan. Sampai akhirnya dia dibuat terkejut begitu Kevan tiba-tiba menyembur dari dalam air tepat di hadapan Anya. Percik air sedikit-banyak mengenai Anya. Tapi itu tak penting. Lihatlah bagaimana Kevan langsung tebar pesona begitu sudah tampil basah di depan istrinya.

Sambil menyugar rambutnya, Kevan menatap Anya lekat-lekat. Anya yang terpaku mana mungkin bisa berpaling. Pahatan dada bidang Kevan yang dipenuhi bulir air seakan-akan menggoda untuk segera Anya sentuh. Uap hangat di antara mereka menambah imajinasi liar tentang kemarin malam entah bagaimana.

Sampai akhirnya Anya menyadari bahwa Lizzy tiba-tiba hilang.

"Eh, mana Lizzy?"

Kevan berkedip. Matanya lalu terpaku pada bayangan Lizzy di kolam. Tiba-tiba Lizzy yang semula berenang di dalam kolam menyemburkan diri ke permukaan hingga percikan airnya mengenai Kevan dan Anya. Hewan itu meniru apa yang sebelumnya tuannya lakukan. Itu membuat Anya tertawa.

"Lizzy hebat!" seru Anya sambil bergeser ke samping agar dapat berhadapan dengan Lizzy. Melihat itu, Kevan kian menyadari sesuatu.

Apakah Lizzy hendak merebut Anya dari Kevan?


Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang