Tiga Puluh Empat

7.1K 353 1
                                    

Anya tetap bergeming saat Kevan sudah melepaskan kait tali pinggangnya. Karena Anya tak juga menunjukkan gerakan akan memulai lebih dulu, Kevan lantas mengambil tangan Anya untuk dia tempelkan ke perut kerasnya.

Sejenak, Anya melihat ekspresi Kevan seperti berubah. Jakun Kevan yang bergerak membuat Anya mengerti satu hal bahwa, sentuhan tangan Anya di perut pria itu telah merangsang Kevan begitu cepat.

Kevan masih mencengkeram pergelangan tangan Anya saat pria itu membimbing tangan Anya untuk meraba perut bawahnya. Jantung Anya dibuat salto seiring tangannya mulai menyentuh tali pinggang.

Kalau saja Kevan belum khitan—dia khitan besok hari setelah persiapan baju pengantin dan menyembuhkan diri selama kurang dari sebulan—Anya pasti akan mengulur-ulur waktu dengan mencoba memengaruhi Kevan bahwa seks sebelum khitan sama sekali tidak asyik. Sayangnya, Anya tak bisa menggunakan alasan itu untuk mengulur waktu karena kenyataannya, Kevan sudah khitan.

Pria itu benar-benar totalitas. Anya sampai tidak paham lagi isi pikiran pria itu. Meski begitu, Anya tak boleh menyerah!

Ketika tangan Anya nyaris sampai di area warning, Anya dengan cepat menarik tangannya dari tangan Kevan hingga terlepas. Mereka lalu saling bertukar pandang; Anya dengan wajah datarnya, dan Kevan dengan raut tidak terima.

"Seingatku pusakamu habis dibantai, 'kan?" seloroh Anya kemudian.

Ekspresi Kevan tergambar seakan-akan dia ingin membotakkan rambut Anya sekarang juga.

"Itu bukan masalah. Aku sudah sembuh total. Dua hari setelah klaim sembuh dari dokter saja aku bahkan sudah langsung berlari di treadmill selama satu jam, dan aku melakukan itu setiap hari sejak hari itu. Kaupaham? Aku, sudah, sembuh, total. Jadi kau tidak usah khawatir. Sekarang berikan tanganmu padaku."

Anya serta-merta menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggungnya. Kali ini, dia memasang wajah penuh pembelaan terhadap dirinya sendiri.

"Kenapa aku harus menyentuh benda itu?"

"Kau serius menanyakan itu?" Agaknya Kevan mulai kesal. Itu terlihat saat dirinya mulai berkacak pinggang di depan Anya. "Padahal kau janda, tapi kau bertanya seperti itu pada seorang perjaka?"

Anya mendesah sinis. "Kaupikir aku percaya begitu saja kalau orang sepertimu masih perjaka, huh?"

"Apa itu penting sekarang? Cepat berikan tanganmu!"

"Terserah mau kau apakan aku, tapi jangan paksa aku untuk menyentuh benda sialan itu!"

Kevan mengangkat kedua alisnya syok. "Benda sialan katamu? Tanpa ini, kau tidak akan pernah bahagia, Ann!"

"Maaf saja, tapi aku bahagia selama dua tahun ini sampai kau datang merusak semuanya."

Masih dengan pose berkacak pinggang, Kevan kian menatap Anya dalam diamnya. Dalam hati, Anya bertanya-tanya apakah Kevan tetap akan memaksanya?

Di awal ketakutan Anya, Kevan terlihat seperti pria bengis yang dominan. Tapi dugaan itu belum menemui bukti sebelum Anya melihat bagaimana Kevan sebenarnya.

Baiklah ... apa Kevan akan memaksa Anya malam ini?

"Jadi kau benar-benar tidak tertarik, ya?" tanya Kevan. Ekspresinya mulai terlihat biasa. "Aku takjub kau bisa hidup selama ini."

"Aku lebih takjub lagi dengan perjaka yang bisa hidup selama lebih dari tiga puluh tahun tapi bisa memahami setiap inci tubuh wanita," desis Anya.

"Yah, apa boleh buat." Kevan mengangkat bahunya santai. "Aku suka denganmu karena kau liar saat bergairah. Tapi sekarang kau malah jual-mahal. Walaupun aku berhak atas tubuhmu, tetap saja menjadi gila sendirian bukan seleraku."

Anya diam saat Kevan mangut-mangut.

"Well, sudah kuputuskan." Kevan menyentil kening Anya sambil tersenyum. "Aku akan menunggu sampai kau berlutut dan mengemis. Sebelum hari itu tiba, jangan harap aku akan menyentuhmu. Walaupun kau menari sambil bertelanjang hanya untuk memancingku, aku tidak akan mendekat sampai kau berlutut di depanku."

Anya menepis tangan Kevan seraya menyeringai senang. "Boleh juga. Kalau begitu, selamat perjaka selama-lamanya, Mr. Kev."

Sejenak, Kevan masih tersenyum saat menatap Anya intens. Sampai akhirnya pria itu berbalik, tampak hendak ke kamar mandi.

Belum sempat Anya menghela napas lega, Anya lebih dulu mendengar Kevan berkata, "Selamat menyesal, Ann. Kau benar-benar akan berlutut dan membuang harga dirimu hanya untuk disentuh olehku."

**

Anya mana mungkin memikirkan kata-kata Kevan dengan intens. Setelah merasa senang karena Kevan akhirnya tidak menyentuhnya, Anya langsung melupakan itu dan bertekad akan menikmati hidupnya.

Meski mereka sekamar, Kevan benar-benar tidak menyentuh Anya. Bukankah itu bagus? Anya tak percaya Kevan ternyata akan sesabar ini. Mulai sekarang, Anya akan melihat; sampai mana Kevan akan sanggup menekan hasratnya?

Anya pikir Kevan semesum itu hingga tak memungkinkan untuknya berpikir rasional ketika berhadapan dengan wanita yang sangat dia inginkan untuk dia setubuhi. Tapi ternyata, Kevan hanya pria arogan biasa!

Anya terkikik senang dalam kelumun selimutnya. Kalau begini, tak ada yang perlu dia cemaskan lagi, bukan?

Sialnya, baru saja dia merasa senang dan bebas, dia dibuat terkejut saat selimut yang dia pakai berdua dengan Kevan tiba-tiba bergerak. Dalam sekejap, Anya yang berbaring membelakangi Kevan dibuat mematung begitu kehangatan menyapanya dari belakang secara penuh.

Anya melotot. Kevan yang merengkuh pinggangnya seakan-akan tengah memeluk guling. Entah dalam keadaan tidak sadar atau justru sengaja, cara Kevan saat membenamkan wajahnya di tengkuk Anya, itu benar-benar ....

Anya membekap mulutnya sendiri saat tangan Kevan mulai bergerak tidak wajar. Tangan pria itu menyusup masuk melalui kemeja Anya, kemudian mulai meraba-raba. Anya sudah menjadi wanita yang sangat sopan karena tidur menggunakan setelan piama. Jika dia harus mengenakan bra untuk menjaga dirinya dari Kevan, dia benar-benar akan sulit bernapas karena mengenakan bra saat tidur sungguh mengganggu. Maka dari itu dia tak memakai pakaian dalam selain hanya kemeja piama dan celana.

Dan karena itulah, tangan Kevan yang bergerak tidak wajar jadi mudah menyentuh dada sintal Anya. Kevan sempat meremas buah dada Anya sebelum Anya bangkit dari baringnya dengan mata membelalak.

Yang lebih mengejutkan, ketika dia berpikir Kevan pasti sengaja, Anya justru mendapati Kevan tampak tidur sangat nyenyak. Sementara tangan pria itu masih bergerak di perut Anya, mulai meraba ke area terlarang.

Secara refleks, Anya langsung mencubit tangan Kevan sebelum melemparnya kembali ke sisi pria itu. Anehnya, Kevan sama sekali tak terusik dengan cubitan itu—seakan-akan dia memang sedang tidur lelap hingga mau diapa-apakan pun, tidak akan sadar.

Untuk membuktikan itu, Anya mencoba membuka kelopak mata Kevan. Dia seketika merasa ngeri karena Kevan benar-benar sedang tidur!

Anya lantas beranjak dan bangkit dari kasurnya. Dia mengambil guling untuk memukul wajah Kevan dengan guling itu. Baru saja dia berpikir kalau Kevan tidaklah semesum itu, sekarang Anya dibuat sadar dengan kenyataan bahwa, Kevan benar-benar mesum!

Dalam keadaan tidur saja insting mesum Kevan sudah menakutkan. Apalagi dalam keadaan sadar!

Mungkinkah selama ini Kevan benar-benar menahan diri dari menyerang Anya?


Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang