Delapan Puluh

6.2K 426 53
                                    

Anya tak mau memejam matanya karena takut Kevan hilang lagi dalam sekejap. Karena itulah ketika Kevan menyuruhnya untuk tidur sembari menunggu bantuan datang, Anya tak menurutinya sama sekali.

"Sebentar lagi mereka akan datang. Tidurlah sampai mereka tiba nanti," pinta Kevan sekali lagi.

Anya tak menjawab. Dia hanya memandangi wajah suaminya yang ikut berbaring di sampingnya, memeluknya dalam hangat selimut.

"Ann."

"Kaupikir aku bisa tidur dalam keadaan begini?"

"Kau bisa. Kau hanya tidak mau."

Anya diam. Dia menyelam netra abu-abu Kevan lekat-lekat.

"Aku hampir gila rasanya. Kenapa kau menyembunyikan semua ini dariku? Aku ingin marah tapi, aku tidak bisa. Kenapa kau tidak mencoba jujur sejak awal? Kau juga berlagak seolah-olah kau tidak sakit. Apa kau tau berapa banyak yang kauhancurkan hanya karena kau tidak bicara?"

Anya tahu, tak seharusnya dia mengatakan itu. Tapi apa yang Kevan lakukan adalah kesalahan besar. Kalau saja dia mau terbuka dengan penyakitnya, dia pasti akan menerima perawatan yang tepat. Lebih penting dari itu, dia pasti tidak akan mengorbankan lebih banyak orang.

"Aku tidak tau jawaban seperti apa yang ingin kaudengar," balas Kevan, sama sekali tak terlihat tersinggung. "Aku punya banyak alasan sampai aku sendiri juga bingung. Tapi aku adalah pewaris. Aku juga ingin mencintai seorang wanita. Aku akan kehilangan semuanya kalau sesuatu tentang diriku terbongkar."

Kevan mengurai rambut Anya, mengelus pipi Anya yang dia sadari sedikit lebih tirus dari yang dia lihat terakhir kali. Setelah banyak hal yang terjadi, mungkin Anya tak lagi memerhatikan asupan gizinya.

Dia terlihat lebih kurus.

"Aku tau aku egois. Tapi sekarang, aku akan membayar semua kehancuran yang sudah aku lakukan."

"Jangan bilang kau akan membayarnya dengan menghilang sekali lagi."

Kevan tersenyum tipis. "Berjanjilah untuk memerhatikan jadwal makan setelah ini. Aku tidak mau anakku kelaparan."

Anya mengernyit nanar. Cara Kevan mengelak dari ucapannya membuatnya takut Kevan benar-benar akan pergi.

"Kau berjanji tidak akan pergi, Kev." Mata Anya mulai memerah. "Kau bisa menyelesaikan ini tanpa harus menghilang lagi dariku."

Kevan diam. Sesaat, dia mengedarkan pandangannya ke seantero kamar yang remang. Lalu dia labuhkan sorot matanya kembali ke arah Anya saat bertanya, "Apa kau tau ini di mana, Ann?"

"Jangan mencoba mengalihkan topik!"

"Baiklah ... baiklah. Sekarang kutanya, apa kau tidak takut padaku? Atau, alih-alih takut, mungkin jijik?" Kevan menatap Anya secara penuh. "Apa kau tidak membenciku?"

"Aku tidak punya energi untuk menjelaskan itu sekarang. Tapi setidaknya kau bisa paham; kalau aku setengah mati memohon padamu untuk tidak pergi lagi, bukankah jawabannya sudah jelas?" Air mata Anya menitik. "Aku tidak membencimu ...."

Kevan diam lagi. Kali ini, dia tak membalas apa-apa. Anya tak bisa menebak apa yang pria itu pikirkan, namun ketika Kevan mengecup keningnya, itu terasa sangat hangat dan lembut. Aktivitas ranjang yang kasar dan bengis, seketika itu juga terlupakan.

Kevan memeluk Anya dalam hangat selimut. Dia memang sudah berjanji akan mengakhiri ini, tetapi dia tak bisa berjanji untuk tidak pergi lagi. Sebab, dia tak menemukan cara apa pun untuk menyelesaikan ini selain, pergi.

**

Anya merasa dirinya tertidur sangat lelap, padahal dia sudah bertekad tak akan tertidur meski hanya sekilas. Begitu kelopak matanya terbuka, dia melihat bayangan kobaran api menyala-nyala. Tubuhnya terlalu lemas untuk merasa terkejut. Yang bisa dia lakukan hanya membelalak.

Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang