Enam Puluh Satu

6.1K 336 4
                                    

Kevan pulang tepat ketika Anya selesai menyiapkan makan malam di meja makan. Anya lihat suaminya yang berjalan menghampirinya sembari menyembunyikan sesuatu di punggung.

Anya pikir apa. Begitu Kevan sampai di depannya dan menyerahkan sebuket bunga mawar mix peony yang sama-sama berwarna ungu, Anya tak ayal langsung tercengang.

"Apa ini?" tanya Anya sambil menerima buket bunga itu.

"Rumput," jawab Kevan sekenanya. Melihat delikan Anya, Kevan langsung melanjutkan, "Padahal sudah jelas ini bunga, tapi kau masih bertanya."

"Bukan bunganya yang aku tanya. Tapi kau. Tumben sekali kau begini. Aku kan jadi ngeri."

"Ngeri tapi bibirmu tersenyum."

Anya tak dapat menyembunyikan senyumnya. Hidungnya lalu mengendus bunga segar yang diberi Kevan untuknya. Mood membosankan seharian ini jadi lebih baik dibuatnya.

"Terima kasih. Kebetulan bunga di sini sudah pada layu."

Anya lantas meletakkan buket bunga ke kabinet dapur, lalu membantu melepas mantel dan jas dari tubuh suaminya. Sejurus kemudian, mereka sudah duduk berhadapan di meja makan.

"Aku lupa bertanya soal sahabatmu," kata Kevan. "Apa urusan mereka sudah selesai?"

Sembari menyuguhi piring makanan untuk Kevan dengan telaten, Anya menjawab, "Sudah beres. Agak sulit sih, meyakinkan Fiona. Bahkan Fiona lebih percaya padaku daripada suaminya. Yeah, suaminya juga bodoh. Tapi aku lega dia ada tekad untuk berubah."

"Syukurlah kalau begitu."

Kevan lalu berterimakasih untuk makan malam yang Anya suguhkan padanya. Dia lantas bersiap untuk makan.

"Apa seharian ini membosankan?"

"Lumayan," balas Anya. "Aku ingin meladeni kasus lain, tapi saking banyaknya, aku bingung harus memilih yang mana."

"Pilih saja yang minim risiko."

Anya tersenyum miring. "Berurusan dengan kelas elite itu berisiko semua, tau."

"Kalau begitu, jadi sofa saja di rumah."

"Nanti kalau aku sudah bosan dengan pekerjaanku, aku akan jadi sofa saja."

"Baiklah. Tapi kalau kau hamil, jangan harap kau bisa bekerja lagi."

Anya mengedikkan bahunya sambil membalas, "Kalau soal itu, aku tidak akan membangkang."

Usai makan malam berakhir, Kevan segera mandi, kemudian lekas pergi salat. Sambil menunggu Kevan pulang, Anya sibuk bercermin. Berapa kali pun dia mematut dirinya yang kini sudah oke-oke saja mengenakan lingerie di depan Kevan, Anya tetap saja merasa takut tidak cocok.

Sejak kapan dia mulai memerhatikan penampilannya di depan Kevan?

Kevan akhirnya pulang. Saat Kevan pulang, Anya tidak di kamar. Dia sibuk memotong ujung tangkai bunga agar segera dapat dia masukkan ke vas berisi air. Barulah ketika Anya membawa vas bunga ke kamar, dia melihat Kevan sudah bertelanjang dada. Sementara celana panjangnya masih terpasang.

"Apa kau mau pakai sweater?" tanya Anya sambil meletakkan vas bunga ke nakas.

"Tidak. Aku ingin pakai celana saja."

Kevan berjalan menghampiri Anya. Matanya kian tak bisa lepas dari wujud istrinya yang saat ini mengenakan lingerie. Dan Kevan tahu pasti bahwa lingerie yang Anya pakai bukanlah lingerie untuk dipakai tidur, melainkan khusus untuk tugas malam.

Saat Anya masih merapikan bunga di vas, Kevan mencari kesempatan untuk memeluk Anya dari belakang. Perasaan bersalah yang dia bawa dari perjalanan pulang masih membelenggunya, membuat peluknya kian erat. Sementara Anya sudah langsung merasa geli karena Kevan sekaligus menyuruk di lehernya.

Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang