Tujuh Puluh Sembilan

7.3K 504 84
                                    

Karl tidak segan untuk membunuh orang jika itu diperlukan. Dia adalah orang yang paling tidak segan untuk melakukan apa pun yang dia inginkan meskipun itu akan menyulitkan Kevan.

Karl juga memiliki kehidupannya sendiri; di mana dia berhak memutuskan sesuatu sesuai dengan kehendak hatinya sendiri.

Di ranjang besar itu, dia ternyata tak bercanda sama sekali. Tak hanya mengikat kedua tangan Anya dengan rantai, Karl juga mencekik leher wanita itu dengan tali pinggangnya. Dia baru mengencangkan cekik di leher Anya ketika gelombang gairah yang dia mainkan semakin hebat.

Tak seperti Karl yang mendesah sembari bermain di atas Anya, Anya justru tak tahu harus merasakan apa. Dia seperti tercabik-cabik, tapi dia tak melihat luka menganga di tubuhnya. Meski gelombang orgasme memonopoli rasa dalam dirinya, yang paling intens dia rasakan justru hanya perih di hatinya.

Rasa rendah diri, tidak diinginkan, diinjak-injak; segala perasaan yang didera oleh korban pemerkosaan, saat ini Anya turut menyicipinya.

Rasa ingin mati saat ini juga.

Di penghujung, Karl baru menggunakan tali pinggangnya untuk mencekik leher Anya. Semakin dia mengentak keras secara dominan, semakin kencang pula cekik di leher Anya. Anya rasakan sakit yang hebat di kepalanya, seiring dengan lenyapnya oksigen yang keluar masuk dari hidung serta mulutnya. Jantungnya seakan-akan terbakar, membuat Anya menggelinjang meminta dilepaskan.

"Kev ...." Air mata Anya mengalir deras. "Please ...." Dia memohon lirih di sela cekatnya.

Karl tak berniat membiarkan Anya hidup. Setidaknya itulah yang dia pikirkan sejak menyeret Anya kemari hingga dia mendapatkan klimaksnya saat ini. Namun, sorot pilu Anya saat nyaris di ambang kematian membuatnya sedikit kacau. Pada akhirnya, dia melepas cekik di leher Anya dan melemparkan tali pinggangnya ke sembarang arah.

Karl menarik dirinya saat Anya terbatuk mencari napas. Dengan dada naik turun, dia menatap Anya tanpa ekspresi. Selagi dia berdiri mengenakan celananya, dia terus menatap Anya dengan dingin.

"Jangan senang dulu," ucap Karl sambil melepas rantai yang membelenggu kedua tangan Anya. "Sepertinya aku hanya akan mengotori rumahku jika membunuhmu di sini. Karena itu ... kau lebih baik mati di tempat lain."

Karl memaksa Anya untuk bangkit saat Anya masih sibuk menormalkan pernapasannya. Karl pasang kembali gaun wol ke tubuh Anya, lalu menyeret wanita itu keluar dari kamar.

Karl membawa Anya keluar dari rumah.

Saat Anya tersungkur, Karl tidak segan menyentak tangan Anya agar segera bangkit dan mengikuti langkahnya meski harus terseok-seok. Beberapa pohon cemara mereka lewati, hingga akhirnya Anya melihat ada ujung tebing. 

Meski gelap, Anya bisa mendengar suara ombak dari suatu tempat. Begitu mereka sudah di ujung tebing, Anya baru menyadari bahwa ternyata mereka berada di tebing dekat laut.

Kegelapan yang terhampar di hadapannya, ternyata adalah laut yang seperti tiada ujung.

Karl melempar tubuh Anya ke tepi tebing, membuat Anya tersungkur nyaris di dekat awang-awang. Segera Anya menarik diri dari tepian, namun Karl malah menahan punggung Anya dengan kakinya, membuat Anya spontan mematung.

"Urusan kita sudah selesai. Pergilah ke surga bersama janinmu dengan tenang."

Mendengar itu, Anya sontak menoleh dan menatap Karl murka. "Hanya ini yang bisa kaulakukan? Kevan benar-benar sudah dikutuk karena harus menyimpan sosok seperti dirimu dalam dirinya!"

Karl tersenyum samar. "Melompatlah, sebelum aku yang menendangmu."

Air mata Anya mengalir deras. Namun ekspresinya tak menunjukkan bahwa dia hancur. Dia justru tak segan memasang wajah murka saat berseru, "Kembalikan Kev padaku!"

Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang