Anya tak bisa tidur meski kasur yang dia tempati jauh lebih empuk dari kasur di mana dia tidur selama ini. Berkali-kali dia melihat ke arah pintu, takut Kevan masuk diam-diam ke kamarnya. Meski dia sudah mengunci pintu, mengingat Kevan masih dapat masuk ke kamar mandi untuk mengantar pakaian Anya walaupun pintu kamar mandi sudah Anya kunci, Anya tak mungkin bisa merasa tenang.
Sepanjang malam Anya merenungi nasibnya. Dulu, Raymond juga selalu mengejarnya. Tak peduli seberapa ketus sikap Anya padanya, Raymond selalu sabar menghadapi Anya. Siapa yang tak luluh karena itu?
Selama menikah, Raymond hampir tak pernah membuat Anya marah dan kecewa. Semua tutur dan sikapnya ter-setting dengan baik hingga Anya jarang tersinggung karenanya—bahkan mungkin tak pernah. Siapa yang menyangka bahwa ternyata itu hanya topeng untuk menutup kebusukan Raymond yang sebenarnya. Selain ibunya, Raymond adalah orang paling buruk yang pernah Anya temui.
Kadang-kadang, dia menyesal telah membunuh Raymond. Kadang-kadang pula, dia justru bersyukur sudah menghabisi nyawa pria itu di tangannya sendiri.
Sampai saat ini, Anya masih bingung dengan dirinya. Apakah dia mengutuk gangguan mental yang dia punya, atau justru malah mensyukurinya, dia masih bimbang dengan itu. Hanya saja, dia sudah bertekad tidak akan membunuh lagi.
Kesabarannya selama ini sudah dilatih sejak dia menjadi detektif. Berapa banyak kejadian serta orang-orang bodoh yang membuatnya sangat marah? Sampai saat ini, Anya masih mampu menghadapi kemarahannya itu dengan teknik sabar yang sudah dia latih selama ini. Namun, Kevan ini cukup menguji kesabarannya.
Mustahil untuk Anya membunuh seseorang dalam keadaan normal. Tapi tak ada yang bisa menebak apa yang akan Anya lakukan jika dia dalam keadaan sangat marah—bahkan Anya sendiri tak dapat membayangkan apa yang akan dia lakukan di saat itu terjadi.
Mungkin Kevan tak terkalahkan, tapi dia masih manusia yang bisa mati kapan saja. Jika Kevan terlalu meremehkan Anya, bagaimana kalau nanti Kevan justru mati di tangan Anya?
Anya memejam matanya dalam kelumun selimut. Dia sungguh tak ingin membunuh lagi. Tapi mengapa orang-orang begitu menguji kesabarannya?
**
"Ini, gaun yang akan kau pakai untuk bertemu kakekmu. Dan ini, gaun yang akan kau pakai untuk bertemu keluarga besarku."
Anya menerima dua paperbag yang Kevan berikan di tangan kanan dan kirinya. Begitu mengintip isi paperbag, lagi-lagi Anya dapati gaun dengan warna lembut lengkap dengan pashmina.
"Kau ... betul-betul paham soal seleraku, ya?" puji Anya. "Kau juga membelikan pakaian dengan ukuran yang cocok."
"Tentu saja. Kan, aku yang paling tau soal ukuran tubuhmu," balas Kevan bangga. Saat tatapan datar Anya yang menyimpan rutuk mengarah padanya, Kevan langsung mengalihkan topik. "Apa kau butuh make up? Kalau kau mau, aku bisa membelikan itu untukmu. Tapi tanpa riasan pun, kau tetap cantik ...."
"Bagaimana caranya kau bisa tau ukuran tubuhku?" Meski Kevan mencoba mengalihkan topik, Anya tak akan membuat Kevan kabur dengan cara itu. "Kau mengukurnya? Saat aku dalam keadaan pingsan?"
"Kau tidak mendengar, ya? Mau beli make up atau tidak?"
"Aku tidak butuh make up," tandas Anya. "Kalau bisa, aku ingin tampil lusuh saja, supaya keluargamu mengejekku gembel, dan kau malu."
"Aku tidak akan malu punya calon istri gembel, asal itu kau."
"Jawab pertanyaanku!"
"Pertanyaan yang mana?"
Anya menatap Kevan yang sedang cengar-cengir dengan sangat kesal. Pandai sekali pria gila itu mempermainkan emosi Anya!
"Bagaimana caranya kau bisa tau ukuran tubuhku!? Kau bahkan menulis semua ukuran dengan sangat detail waktu itu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter Sweet Pervert
Romansa"Aku tidak akan memberimu pilihan. Mau tidak mau, kau harus menikah denganku." ---------- Anya mendedikasikan dirinya untuk menjadi detektif swasta yang berfokus memata-matai kasus perselingkuhan. Suatu malam, Kevan sang CEO yang sedang naik daun t...