Delapan

14.5K 611 2
                                    

Anya bergerak sigap. Dia menjual rumah lamanya dalam waktu cepat, kemudian membeli rumah baru dengan cepat pula. Tak ada yang sulit untuk wanita independen seperti Anya, apalagi Sherly ada di sisinya untuk membantunya.

Apartemen yang menjadi kantor Anya selama ini dibiarkan kosong, dan dia tak menjualnya. Sherly bilang, harusnya Anya menjual unit apartemennya saja alih-alih menjual rumah. Sebab, jika Kevan berniat mencari Anya, Kevan pasti tidak tahu di mana rumah Anya yang selama ini hanya orang-orang terdekat Anya saja yang tahu. Namun, Anya punya pemikiran yang berbeda. Yang jelas, dia menjual rumahnya saat ini supaya bisa menggunakan uang penjualan itu untuk membeli rumah baru.

Padahal, kakek kandung Anya sangat kaya. Tapi Anya tak pernah bergantung pada kakeknya lagi, sejak suami dan ibunya meninggal.

"Apa menurutmu aku nggak berlebihan, Sher?" tanya Anya sambil memandangi mug cokelat panasnya. "Mengasingkan diri di sudut Kota cuma karena takut sama obsesi pria aneh. Kurasa aku mulai paranoia?"

"Karena dia bukan orang biasa yang bisa dilapor tanpa bukti yang cukup, kurasa ini jalan terbaik. Orang yang terlalu terobsesi dengan sesuatu tanpa memikirkan perasaan orang lain, pola pikir mereka udah nggak sama kayak pola pikir kita. Dan seseorang yang berani melanggar aturan demi keegoisan pribadi, itu sama sekali bukan orang yang baik. Kamu udah benar mengambil langkah ini; menghilang total dari pengawasannya."

Anya menghela napas panjang. "Padahal Fiona masih butuh konsul denganku. Kalau aku tiba-tiba menghilang, dia pasti sedih. Tapi kalau aku kabari, dia pasti ngotot ke sini. Mana bentar lagi dia mau lahiran ...."

"Pikirkan aja dirimu dulu. Lihat dulu sebulan ini. Kalau aman, kamu bisa keliaran dengan bebas lagi."

Sherly ikut menghela napas. Meski dia bersikap tenang, sebenarnya dia juga khawatir. Apalagi membayangkan bagaimana Anya tinggal sendirian di sini setelah Sherly pergi nanti. Adakah dirinya juga paranoia?

Yeah, bagaimanapun, penguntit dengan obsesi seksual sangat menakutkan. Terlebih untuk wanita seperti mereka.

"Kamu nggak punya niat punya suami lagi, Ann?" tanya Sherly hati-hati. Mungkin Anya adalah orang yang tidak pernah tersinggung, tapi bagaimanapun, pertanyaan itu bisa saja sangat sensitif untuk wanita yang pernah mencintai mendiang suaminya sepenuh hati. "Bisa aja kalau kamu punya suami, Kevan saiko itu nggak mengganggu kamu lagi."

Suami, ya?

Anya jadi tiba-tiba teringat tawaran Kevan saat itu yang ingin Anya menjadi istrinya.

"Apa menurut kamu, sekarang waktu yang tepat buat cari jodoh?" tanya Anya, membuat Sherly meringis. "Lagian, aku nggak punya motivasi apa pun untuk menikah lagi. Menikah untuk menghindari gangguan orang gila? Itu sama aja lari dari buaya terus masuk kandang singa."

Perspektif Anya terhadap pernikahan sudah buruk. Dan tak akan ada yang bisa mengubah itu.

"Aku pasti bisa ngelewati ini sendiri." Anya meyakinkan dirinya. Dia lalu menoleh dan menatap Sherly. "Kamu harus pulang, Sher. Kalau orang gila itu datang ke tempat kamu, kamu bisa urus dia, 'kan?"

"Beres. Serahin sama aku."

Sherly kemudian pulang. Meski mobil Sherly sudah berlalu, Anya masih berdiri di ambang pintu rumahnya. Dia melihat deretan rumah di seberang jalan. Komplek yang dia pilih saat ini ditempati banyak rumah. Anya berharap Kevan tak berhasil mencarinya sampai di sini.

Tidak. Anya berharap Kevan tidak tertarik untuk mencarinya, dan ancamannya waktu itu hanya gurau semata. Tak mungkin orang berpengaruh seperti Kevan meluangkan waktu untuk bermain-main dengan wanita seperti Anya. Dia berharap bahwa mungkin saja Kevan hanya sedang bosan saat itu, dan menjadikan Anya sebagai pelampiasan.

Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang