Dua Puluh Tiga

9K 534 4
                                    

Seumur hidup, berapa kali Anya melihat kekejaman di depan matanya?

Perundungan, penindasan, perselingkuhan, tragedi, Anya sudah pernah melihatnya secara langsung. Namun, yang ini belum pernah dia temui.

Orang bodoh yang menyakiti bayi tak bersalah untuk menunjukkan betapa hebatnya dia, belum pernah Anya temui seumur hidupnya.

"Kyooo!!"

Tangis histeris Erleen membuat Anya pusing. Bayi yang gagal dia sambut itu tak bersuara, apa dia langsung mati? Suara tubuhnya saat menghantam kerasnya lantai granit cukup keras, membuat Anya yakin bahwa, bayi itu tak mungkin baik-baik saja.

Setidaknya, pasti ada tulang yang patah. Menyadari bayi itu tak bersuara, kemungkinan gegar otak yang parah membuatnya pingsan.

Bola mata Anya bergerak cepat menahan gejolak aneh dalam dirinya. Sampai ketika matanya terpaku di tempat yang seharusnya, dia langsung berseru pada Erleen, "Bawa anak itu ke rumah sakit sekarang!"

Meski menggendong tubuh bayi yang kemungkinan mengalami patah tulang sangat berisiko, hanya itu cara tercepat yang bisa mereka lakukan sebelum munculnya kemungkinan terburuk.

Erleen, walau kakinya terasa lemas, dia tetap menyanggupi titah Anya. Segera dia bawa anaknya itu pergi. Melihat pemandangan itu, Daren jadi tergelitik sendiri.

"Kau tidak ikut pergi? Sana kabari semua orang kalau aku sudah membunuh seorang bayi!"

Anya berjalan menghampiri meja kaki tiga yang menopang sebuah guci mewah. Anya letakkan guci itu baik-baik ke lantai, lalu bangkit membawa meja itu ke arah Daren yang tertegun.

Mau apa wanita itu sampai harus membawa meja?

"Hei? Kau mau membunuhku hanya dengan meja itu?" Daren tertawa. "Yang benar saja—woahh!"

Kalau saja Daren tak cepat melempar dirinya sendiri ke lantai, meja yang dilempar Anya ke arahnya pasti sudah melukai kepalanya. Sontak Daren melotot ke arah Anya yang mengambil meja itu untuk dia bawa kembali menuju Daren.

"KAU GILA!?" seru Daren sambil bangkit. Karena Anya hanya menatapnya tanpa ekspresi, Daren jadi mencurigai sesuatu.

Jangan katakan bahwa Daren sudah salah target! Anya hanya orang biasa, bukan!?

Daren lalu tertawa. "Kau pikir aku akan termakan intimidasimu? Dengar! Aku tidak akan memberi ampun hanya karena kau wanita! Aku juga tidak peduli kau wanitanya Kev! Yang jelas aku akan membuatmu membayar apa yang sudah kau lakukan padaku dengan meja itu!"

Daren berhasil menghindar dari meja itu sekali lagi. Dia merasa marah karena Anya benar-benar tak mengindahkan perkataannya. Saat dia mencoba menampar Anya, wanita itu menghindar dengan cepat dan memukul wajah Daren dengan tinjunya.

Seketika, Daren mundur sembari memegangi hidungnya yang mengalir darah. Dia tak menyangka seorang wanita memiliki kekuatan untuk membuatnya berdarah seperti ini.

"Kenapa kau melempar anak itu?" tanya Anya usai mengambil satu kaki meja yang sudah patah, membawanya sambil berjalan menghampiri Daren. "Aku memintamu menurunkan anak itu baik-baik, tapi kenapa kau malah melakukan hal bodoh yang tidak kusuruh?"

Daren mendesah sinis—menyembunyikan perasaan takut yang mulai memenuhi dadanya. Jangan konyol! Mana mungkin dia akan takut pada seorang wanita yang mengandalkan satu tangkai kayu sebagai senjatanya!

"Apa kau tidak tau siapa ibu dari bayi tadi? Dia mantan pacar Kevan!" seru Daren.

"Jawab saja pertanyaanku. Kenapa kau melempar anak itu? Apa posisimu di keluarga ini membuatmu berhak mempermainkan nyawa seseorang?"

"Cih." Daren tertawa kering. "Memangnya kenapa? Masalah buatmu?"

Kaki Anya tiba-tiba bergeming. "Kalau begitu, apa tidak masalah kalau aku ikut mencoba mempermainkan nyawa seseorang?"

Anya sudah di luar kendali. Yang dilihatnya bukan manusia lagi, melainkan makhluk yang tidak jelas bentuknya; yang harus dia basmi dengan tangannya sebelum makhluk itu merusak banyak hal lagi.

"Kau ... tidak tau tempat, ya?" Daren menyeringai. "Kau pikir kau masih punya kesempatan untuk menikah dengan Kev setelah kau membunuhku?"

Anya tak menjawab. Seharusnya Daren sudah merasa aman, namun, melihat Anya mulai melangkah dengan cepat, Daren secara refleks melangkah mundur dan berbalik, mulai berlari dengan kencang.

Sungguh ini memalukan, tapi Daren benar-benar merasa takut melihat Anya mengejarnya seperti orang kesetanan sambil membawa kayu; seperti hendak memukulnya sampai mati.

"Siapa pun ...." Daren menendang harga dirinya demi bisa berteriak, "SIAPA PUN TOLONG AKU!"

**

"Kenapa mereka tidak kembali?"

Kevan melirik tas tangan di bangku Anya, lalu mengangkat pandangannya untuk menatap Joseph. "Aku akan mencari Snow sebentar."

Baru saja Kevan bangkit, pintu ballroom tiba-tiba terbuka. Semua orang terkejut dan beranjak dari tempat duduk mereka begitu mereka melihat Daren tersungkur di lantai dengan wajah babak-belur.

"Ayah! Ibu! TOLONG AKU!"

Alih-alih menolong anak mereka, orang tua Daren justru memasang ekspresi jijik dan malu. Mereka lalu melihat seorang wanita masuk ke ballroom, berjalan pelan menghampiri Daren yang berusaha beringsut menuju meja makan. Jas mahalnya menyapu darah dari hidungnya yang semula menetes ke lantai, membuatnya terlihat kotor dan berantakan.

Apa-apaan tatapan mereka?

Daren mengutuk dalam hati. Apa mereka tak melihat apa yang sedang terjadi!?

"Snow?" gumam Kevan saat melihat Anya masuk membawa sebuah kayu. Pikirannya kemudian mengurai benang kasut; membuatnya memahami apa yang sedang terjadi.

Daren pasti sudah mengusik kotak amarah Anya.

"KENAPA KALIAN DIAM SAJA? CEPAT SINGKIRKAN WANITA GILA INI!!"

"Memalukan," desis Joseph, membuat Daren termangu. "Kau babak-belur seperti ini hanya karena seorang wanita!? Benar-benar memalukan!"

Kevan tersenyum miring. Dia sungguh ingin tertawa, tapi waktunya tak tepat. Lebih baik dia melesat untuk menghentikan Anya.

"Kakek bicara apa? DIA MAU MEMBUNUHKU!"

Daren lalu membalikkan tubuhnya, duduk mendongak ke arah Anya yang hendak mengayunkan kayu itu ke kepalanya. Spontan Daren lindungi kepalanya dengan kedua tangannya sembari berteriak.

Untuk sesaat, Daren yakin dirinya akan mati kali ini. Namun, mengapa keadaan tiba-tiba hening?

Pelan-pelan, Daren mencoba melihat Anya kembali. Dia kontan dibuat mematung begitu dia dapati Anya sudah berada dalam dekapan Kevan. Pria itu memeluk tubuh Anya—dari belakang—sekaligus memeluk kedua tangannya. Sedangkan kedua mata wanita itu Kevan tutup dengan tangannya yang lain.

Melihat Anya langsung bergeming begitu disegel oleh Kevan, Daren sungguh tak bisa berkata-kata.

"Tenanglah, Snow," bisik Kevan di telinga Anya. "Kendalikan dirimu."

Meski tak memberontak, tubuh Anya sebenarnya bergemetar hebat. Sesuatu yang bergejolak dalam dirinya membuatnya ingin menghabisi Daren saat ini juga. Namun, mengapa dekapan Kevan tak mampu membuatnya memberontak?

"A-apa yang terjadi ...." Daren menatap Kevan dan Anya dengan ekspresi syok.

"Oh, kau tidak tau, ya?" Kevan menyeringai. "Kau baru saja membangunkan singa yang sedang tidur. Sekarang coba jawab dengan jujur. Apa yang sudah kau lakukan sampai membuat calon istriku semarah ini?"

Daren mematung, mengernyit tak mengerti.

"Snow hanya akan seperti ini setelah kau melakukan hal paling bodoh di depan matanya," terang Kevan sekali lagi. "Jadi ... hal bodoh apa yang sudah kau lakukan, sepupuku?"


Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang