Tiga Puluh

8.8K 478 3
                                    

Sesampainya di rumah sakit, Kevan segera menuntun Anya ke kamar inap Priscilla. Sebenarnya jam membesuk pasti sudah selesai, tapi karena Kevan dapat mengunjungi ibunya kapan saja, tampaknya rumah sakit ini pun termasuk tempat yang berada dalam genggaman Heisenberg.

"Here, my mom."

Begitu dipersilakan masuk, Anya serta-merta melihat seorang wanita ringkih terbaring di hospital bed dengan berbagai alat medis di tubuhnya. Monitor jantung masih stabil. Meski wanita di sana terlihat seperti sedang tidur dengan normal, perasaan saat melihatnya membuat hati teriris entah bagaimana.

Anya benci membayangkan ibunya. Walaupun dia sudah memaafkan, bukan berarti perasaan benci itu juga akan ikut hilang. Memaafkan adalah cara supaya Anya bisa berdamai dengan masa lalunya, bukan berdamai dengan orang yang masih membela dirinya sendiri meskipun dia jelas-jelas bersalah.

Tak heran mengapa dalam tidurnya, Anya masih selalu menangis. Meskipun dia sudah memaafkan dan rela, rasa sakit yang diwariskan sang ibu sebelum kematiannya sudah menjadi luka yang tak ayal dalam; membuatnya masih merasa sedih walau di alam bawah sadar.

Itulah mengapa Anya selalu merasa tak nyaman jika melihat kedekatan seorang ibu dengan anaknya. Namun, melihat wanita yang sudah melahirkan Kevan berbaring tak berdaya di ranjang itu, perasaan tak nyaman itu hilang entah bagaimana.

"Aku datang, Mom." Kevan menggenggam tangan ringkih ibunya, lalu menoleh ke arah Anya yang bergeming. "Aku datang bersama calon menantumu."

Anya melangkah lebih dekat. Dia melihat paras ibu Kevan dengan jelas begitu dirinya sudah berdiri di samping Kevan. Meski pipinya terlihat cekung dan ringkih, itu tak mengurangi kecantikan Priscilla. Rautnya yang teduh saat tertidur seakan-akan menjelaskan bahwa dia orang yang sangat lembut saat sadarnya.

"Kurasa ibumu orang yang sangat lembut?" tanya Anya sambil tak melepaskan pandangannya dari wajah Priscilla. Hingga ketika Kevan tertawa, Anya baru menoleh.

"Tidak. Kau tidak tau betapa cerewetnya dia, Snow. Kau tidak akan tahan. Tidak ada sesuatu yang kaulakukan tanpa terhindar dari komentarnya."

Anya tersenyum tipis seraya kembali menatap Priscilla. "Kurasa itu tidak masalah? Daripada orang yang tampak mendukungmu dalam semua hal, tapi menusuk dan mengutukmu dari belakang. Kurasa ibu yang cerewet dan pengatur jauh lebih baik?"

"Hmm. Pengalaman masing-masing membuat sudut pandang kita berbeda, Snow. Yeah, walaupun kuakui ibuku menyebalkan, aku tetap mencintainya."

Anya melihat Kevan mengusap kepala ibunya dengan lembut. Benar-benar pria yang tak bisa dimengerti. Kalau saja Kevan tak menculiknya dan terobsesi padanya, Anya mau tak mau pasti sudah dibuat jatuh hati oleh sisi lembut Kevan yang tampak terjadi begitu alami.

Kalau Kevan hanya menunjukkan sisi normal dan sempurna, lantas apa bedanya Kevan dengan Raymond? Jika Kevan menyembunyikan kegilaannya, bukankah itu akan membuat Anya justru lebih waspada karena takut berjumpa dengan replika Raymond?

"Boleh aku tau, dengan cara apa ibumu melakukan percobaan bunuh diri?"

Kevan membuang napas. "Aku benci mengingatnya karena ibuku melakukan itu di depan mataku." Diam sebentar, Kevan lalu melanjutkan, "Dia terjun dari lantai dua rumah kami."

Anya diam.

"Harusnya dia terluka tidak terlalu parah. Cedera otak yang dialami ibuku masih tergolong ringan hingga dia seharusnya tidak mengalami koma sampai dua tahun ini. Dokter bilang, mungkin saja alam bawah sadar ibuku yang melarangnya untuk segera bangun. Tidak ada yang berubah jika dia bangun, jadi dia memilih tinggal di alam bawah sadarnya. Mungkin supaya dia tidak perlu merasa sakit lagi."

Anya masih diam.

"Karena itu aku merasa, kalau aku mengemis memintanya untuk segera bangun, mungkin dia akan mendengar dan mau kembali demi aku."

Jika mendengar Kevan berbicara seperti ini, dia sungguh terlihat seperti seseorang pada umumnya. Membuat Anya tak memiliki alasan untuk mengabaikan perasaan Kevan yang sebenarnya.

"Seandainya," ucap Anya, "seandainya ibumu bangun, apa yang sangat ingin kaukatakan padanya?"

"Apa, ya?" Kevan tampak menimbang-nimbang. "Alih-alih mengatakan sesuatu, kurasa aku hanya akan memeluknya sambil menangis?"

Anya mendesah sinis. "Orang sepertimu bisa menangis?"

Kevan menunjuk wajahnya dengan ekspresi polos. "Apa aku terlihat sekejam itu sampai kau berpikir aku tidak bisa menangis?"

"Biasanya orang sepertimu kelenjar air matanya tersumbat."

"Di beberapa waktu kelenjar air mataku bisa seperti sperma; melimpah-ruah seperti air keran rusak."

Ekspresi Anya langsung berubah bengis saat dia mendesis, "Dasar brengsek."

"Biar kupikirkan." Kevan memegang sebelah sikunya, lalu tangannya yang lain dia angkat agar dia dapat mengapit dagunya. Dia membuat pose seperti itu setiap dia pura-pura berpikir keras. Padahal dia hanya ingin mengalihkan kejengkelan Anya saja. "Hmm. Kurasa ada banyak hal yang ingin kukatakan. Apa kau mau dengar?"

Anya ketepikan perasaan jengkelnya demi bisa mendengarkan Kevan dengan saksama. Ekspresi yang tenang saat Kevan tersenyum sambil mengusap kepala ibunya lagi-lagi membuat Anya berpikir, mungkin seperti inilah diri Kevan sebenarnya. Ataukah mungkin, Kevan hanya sedang berakting?

"Kalau ibuku bangun, mungkin aku akan langsung berterima kasih."

Untuk pertama kali, Anya melihat tatapan Kevan begitu lembut dan teduh; seakan-akan ada berbagai ekspresi yang tersimpan di baliknya. Selama ini meski Anya melihat Kevan begitu ekspresif seperti saat tersenyum dan tertawa, tatapan Kevan tetap terkesan hampa dan kosong di saat yang sama. Namun sekarang, hanya ketika menatap ibunya, Kevan terlihat seperti orang yang jujur dan apa adanya.

"Aku akan bilang, terima kasih sudah melahirkanku. Terima kasih sudah membesarkan aku walau kau harus mengubur cita-citamu karena itu. Maaf selama ini aku bersikap dingin, padahal pasti ada banyak hal yang ingin kauceritakan padaku. Mulai sekarang, kau tidak perlu menangis diam-diam lagi; aku tidak akan merasa terganggu walaupun kau menangis keras di depanku. Katakan apa pun yang membuatmu sedih; aku akan duduk berjam-jam hanya untuk mendengarkanmu. Aku tidak akan pergi sampai kau sendiri yang menyuruhku pergi."

Anya bergeming.

Perasaan apa ini? Kenapa kata-kata Kevan membuatnya terpaku begini?

Walaupun Anya punya pengalaman yang sangat buruk dengan sang ibu, walaupun Anya akan membawa kebenciannya terhadap ibunya sampai dia mati nanti, mengapa ketika mendengar kata-kata Kevan, Anya menjadi sangat tersentuh?

Anya mengangkat sedikit wajahnya, menerawangi langit-langit. Dia harap cara itu bisa membuat air matanya yang menggenang bisa masuk kembali, tapi yang ada air matanya malah meluncur dengan mulus. Saat Kevan menoleh, Anya spontan membuang muka.

"Wah, apa kata-kataku membuatmu terharu, Snow? Sampai kau menangis begitu?

Nada bertanya Kevan yang terkesan meledek membuat Anya kembali merasa jengkel. Tapi air matanya tak mau berhenti. Meski Anya mengusap air matanya hingga kering, air matanya tetap tak mau berhenti.

"Perasaanmu dengan ibumu membuatku ingin muntah. Bisa-bisanya kau mengatakan itu di depan orang yang membenci ibunya seumur hidupnya," kata Anya sambil terus mengusap air matanya dengan punggung tangan. Bahkan di saat seperti ini, Anya masih berusaha menunjukkan bahwa dia tidak lemah. Hanya saja air matanya tak bisa berbohong.

"Mau bagaimana? Kau sendiri yang bertanya."

"Kalau orang sepertimu bisa menyiapkan kata-kata seperti itu untuk ibumu, bukannya itu berarti ibumu adalah orang yang sangat baik?" Anya tercekat, terisak kecil. "Kau membuatku iri ...."

Untuk beberapa saat, Kevan hanya diam menatap Anya. Sampai akhirnya dia mengangkat tangannya untuk menepuk pelan ubun-ubun wanita itu. Dalam sekejap, sikapnya itu membuat Anya mematung entah bagaimana.

"Kenapa kau harus iri? Ibuku nanti kan juga jadi ibumu." Kevan tersenyum. "Kalau nanti dia bangun, percayalah, dia akan lebih memerhatikanmu daripada memerhatikan anak kandungnya sendiri. Jadi kau tidak perlu iri, karena dia juga akan jadi ibumu."


Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang