Dua Puluh Lima

10.3K 517 13
                                    

Kevan tak memberi peluang untuk Anya kembali ke rumahnya malam tadi, karena itulah Anya terpaksa bermalam di hotel mewah itu. Sulit untuk Anya bisa tidur karena takut Kevan akan berbuat serong padanya. Namun, kasur yang empuk dan nyaman, serta aroma segar dan hangat dari disfuser membuatnya tertidur entah bagaimana.

Ketika terbangun saat subuh, sekali lagi, Anya mengecek tubuhnya dengan panik. Betapa melegakan melihat dirinya masih rapat tertutup gaun dan pashmina. Tapi sebenarnya aneh juga. Bisa-bisanya Anya tertidur dengan pakaian seperti ini. Padahal, dia termasuk wanita yang hanya akan tidur jika hanya ada sehelai pakaian di tubuhnya. Telanjang lebih baik.

Setelah mandi air hangat, Anya segera berdiri untuk ibadah Subuh. Lagi-lagi dia hanya mengandalkan gaun dan pashmina-nya, ditambal dengan sarung tangan tebal serta kaus kaki.

Barulah ketika langit mulai terang, Anya menyadari kalau Kevan tak ada di kamar ini.

Apa jangan-jangan, Kevan bermalam di kamar lain?

Pintu kamar hotel tiba-tiba terbuka. Anya melihat seorang pria masuk sambil membawa satu paperbag besar. Pria itu tak mengenakan pakaian formal—apa dia sedang libur bekerja? Dia hanya mengenakan jaket tebal dan jins panjang, serta sepatu boots. Dia juga meletakkan topi bisbol berwarna soft-cream di kepalanya, membuat mata Anya gatal karena pria itu selalu keren apa pun outfit-nya.

"Ya ampun, kenapa pakaian kemarin masih kau pakai, Snow? Berapa liter keringat yang menumpuk di gaunmu itu?"

Sekali saja, Anya ingin bisa memukul mulut pria itu dengan sandal hotelnya.

"Ini. Pakai. Lalu ikut aku pergi sarapan."

Anya menatap paperbag yang diserahkan Kevan padanya dengan ekspresi datar. Kemudian mendongak dan berkata, "Terima kasih bajunya, tapi aku mau langsung pulang saja."

"Kau memang akan pulang, tapi ganti baju dulu. Aku tidak masalah dengan aroma keringatmu, tapi lain cerita kalau orang lain ikut menghirup aromamu."

Jangan kesal, jangan marah ....

"Kurasa musim dingin mampu menekan aroma keringat orang-orang. Kau juga hanya mandi sekali seminggu setiap musim dingin, 'kan?" ejek Anya.

"Aku? Aku mana bisa tidak mandi. Yeah, kalaupun aku tidak mandi, aku tidak akan bau."

"Jadi maksudmu aku bau, begitu!?"

Anya memaksa dirinya untuk bersabar, tapi senyum miring pria di depannya benar-benar membuatnya ingin melempar galon ke wajah pria itu.

"Ya, bau feromon."

"Brengsek!"

Saat Anya mengangkat tangannya untuk memukul Kevan, pria itu malah justru menyambut tangan Anya untuk menggantungkan tali paperbag di sana.

"Cepat pakai itu. Aku akan masuk sepuluh menit lagi."

Anya meraih sandal pipihnya untuk dia lemparkan ke arah Kevan yang tengah melesat ke pintu. Sialnya, Kevan berhasil menghindar, padahal dia tak melihat kapan Anya melempar sandal itu ke arahnya.

**

Setelah mengenakan pakaian baru yang Kevan berikan untuknya, Anya membawa paperbag berisi pakaian miliknya ke restoran hotel. Dia juga meletakkan tas tangannya di dalam paperbag itu, jadi dia tak perlu membawa banyak tetek-bengek yang merepotkan.

"Kau mau sarapan apa?" tanya Kevan saat mereka sudah duduk berhadapan dengan meja menjadi penengah. Pria itu menyerahkan buku menu—yang sebelumnya diserahkan pada seorang waitress—kepada Anya.

Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang