Untung Anya cepat sadar, jadi dia bisa langsung paham siasat Kevan. Meski Anya sempat silau sebentar, karena dia langsung sadar, dia mulai memasang antisipasi.
Jangan sampai Anya terbawa arus permainan Kevan yang sedang berusaha keras membuat Anya berlutut di hadapannya.
"Soal bulan madu," kata Kevan saat mereka sudah sarapan. "Apa kau punya ide?"
Anya mengangkat pandangannya untuk menatap Kevan. "Bulan madu? Kukira kita tidak akan membahas soal itu."
"Aku ingin menikmati cuaca di negara tropis, tapi kalau berangkat dari negara yang sedang berlangsung musim salju, kurasa aku akan langsung flu begitu sampai di sana."
Anya mendesah sinis. "Ternyata kau lemah soal cuaca, ya."
"Kau tau kenapa perubahan cuaca selalu signifikan? Itu supaya tubuh kita tidak terlalu kaget ketika menerima musim baru."
"Yah, apa pun itu, aku tidak ingin pergi bulan madu."
Mata Kevan menyipit. "Kenapa? Kau takut? Tenang saja. Aku hanya akan bergerak setelah kau berlutut."
"Aku sibuk."
Sambil mengunyah sarapannya, Kevan menatap Anya lekat-lekat dan tanpa kedip. "Apa kau tidak bisa lebih santai sedikit? Suatu hal langka untukku bisa absen bekerja dalam waktu yang lama. Sekretarisku pasti sedang menyumpahiku sekarang. Semua kulakukan untukmu. Apa tidak ada yang bisa kaulakukan untukku?"
Anya tak kalah menatap Kevan lekat-lekat. "Harusnya kaupaham; aku di sini karena dipaksa. Kau jangan pura-pura lupa kalau kau pernah menculik dan menyekapku. Kau berharap balasan yang manis setelah egoismemu itu?"
Mata Kevan menyipit lagi. "Setelah kau berlutut nanti, kau benar-benar tidak akan kulepas selama tujuh hari tujuh malam, Anya."
"Puas-puaslah berkhayal, Kev. Alih-alih aku, justru kau yang nanti berlutut. Karena itu, persiapkan harga dirimu mulai sekarang."
Kevan benar-benar dibuat tergelitik karena ucapan istrinya itu. "Harusnya kau lebih sering membaca majalah gosip. Berapa banyak wanita yang menginginkan posisimu saat ini? Mereka semua bermimpi ingin tidur denganku, tapi kau lebih mementingkan harga dirimu? Yang benar saja!"
"Bagaimana denganmu? Kau juga mementingkan harga dirimu, 'kan? Bukannya waktu itu kau seperti akan memerkosaku tidak peduli aku setuju atau tidak?"
Kevan diam, membuat Anya ikut diam. Lama mereka menatap satu sama lain, sampai akhirnya mereka kembali kepada sarapan masing-masing.
"Kalau kau ingin berlibur, liburlah sendiri," kata Anya sambil fokus pada sarapannya. "Aku hanya akan berlibur saat sudah musim semi nanti. Untuk saat ini aku ... aku lelah."
Kevan menatap Anya dalam diamnya. Mereka tak lagi berbicara sampai mereka selesai sarapan. Ketika Anya hendak mencuci perkakas makan, Kevan sudah lebih dulu berdiri di sana. Anya pikir Kevan hanya cuci tangan sebentar, tapi ternyata pria itu malah membantu Anya mencuci piring.
Karena Kevan tak berbicara lagi sejak percakapan terakhir mereka, Anya merasa Kevan jadi tiba-tiba bersikap dingin? Pria itu bahkan tak menoleh saat Anya berdiri di sampingnya, hendak membantu pria itu mengelap piring yang sudah dia cuci.
"Aku terkejut penthouse semewah ini tidak ada mesin cuci piring," celetuk Anya sambil menatap Kevan penasaran. Dia bukan penasaran akan pertanyaannya. Dia penasaran, apakah Kevan akan berbicara untuk menjawab pertanyaannya? Soalnya wajah Kevan seperti menunjukkan bahwa dia tak akan berbicara dengan Anya lagi selama setahun.
"Kau bisa mendapatkannya kalau kau mau," jawab Kevan. Ternyata dia tetap berbicara untuk menjawab pertanyaan Anya, tapi sebenarnya Anya tak mengharapkan itu. Harusnya Kevan membuat jawaban berbelit yang menyebalkan hanya untuk membuat Anya kesal. Tapi kenapa pria itu tak melakukannya?
Apa Kevan merajuk?
"Tempat sebesar ini, apa kau menyewa orang untuk membersihkannya?"
"Tidak," jawab Kevan. "Setiap weekend, aku bersih-bersih rumah sendiri."
Anya menerima piring yang sudah Kevan cuci untuk dia lap. "Orang sepertimu ternyata juga menghemat uang, ya?"
Kevan menatap Anya dengan sudut matanya sebelum kembali fokus pada perkakas makan yang sedang dia cuci. "Aku tidak bisa memercayai siapa pun. Terakhir, saat aku membiarkan pelayan kakekku membersihkan tempat ini, dia memasang kamera kecil di kamar mandi. Aku tidak tau sudah berapa lama dia meletakkan benda sekecil itu di sana, tapi kurasa dia sudah puas melihat tujuh puluh senti milikku."
"Kau membual?"
"Jangan berpikir hanya laki-laki yang bisa cabul. Bahkan wanita pun sanggup memerkosa."
"Maksudku, soal tujuh puluh senti."
Kevan menoleh dengan ekspresi datar. "Kenapa? Kau penasaran?"
"Aku penasaran bagaimana kau menggulungnya selama ini."
Sejenak menatap Anya tanpa ekspresi, Kevan akhirnya tak dapat menahan tawanya. Dia mungkin bisa berakting seolah-olah dia merajuk, tapi sepertinya itu tak bisa bertahan lama. Apalagi di matanya, Anya itu sangat lucu.
"Menggulung apa maksudmu? Kaupikir selang?" balas Kevan sambil memercikkan air ke wajah Anya. "Kalau kau penasaran, berlututlah sekarang."
Anya mendesah sinis. "Bermimpilah seribu tahun."
"Kalau kau jual-mahal begitu, takutnya nanti malah terjadi hal buruk. Akan lebih baik kalau kau melayaniku di saat aku sedang normal."
"Memangnya kau normal?"
Kevan tersenyum. "In the odd moments. Seringnya aku gila."
"Aku tau itu."
Setelah membereskan dapur, Kevan dan Anya mulai berpencar. Di penthouse yang besar itu, akan sulit untuk mencari satu sama lain jika salah satunya bersembunyi. Kevan sudah tahu Anya akan memanfaatkan rumah yang besar ini untuk bertenang sendirian. Maka dari itu dia memakai cara licik untuk membuat Anya mencari dirinya, bukan sebaliknya.
Kevan menyalakan seluruh speaker di penthouse-nya untuk memperdengarkan apa yang dia tonton ke telinga Anya.
Tepat ketika Anya baru membuka laptopnya untuk melihat ratusan email yang masuk, dia langsung dibuat terusik oleh suara desah manja wanita yang mengisi seantero penthouse. Sejenak Anya merinding, apa Kevan menonton film porno pagi-pagi begini? Meski pria itu sangat senggang, bukankah pimpinan perusahaan besar seperti dirinya seharusnya tak punya waktu untuk itu?
Lebih penting dari itu, apakah Kevan tak bisa menikmati waktunya sendiri tanpa harus mengganggu Anya? Kenapa suara TV-nya keras sekali!? Jangan-jangan pria itu menyalurkan suara TV-nya ke semua speaker di penthouse-nya ini!?
Untuk sesaat, Anya mencoba tak menghiraukan. Dia ingin mengenakan headphone, tapi sayangnya benda itu ada di kamar. Untuk ke kamar, Anya harus melewati ruang santai tempat Kevan menonton TV. Membayangkan Anya pergi ke sana saja, Anya sudah enggan setengah mati. Dia tahu niat Kevan seperti ini hanya ingin memancing Anya datang.
Omong-omong, libur selama hampir tiga bulan membuat Anya dicari-cari oleh calon klien yang ingin menggunakan jasa Anya. Apakah Anya senang? Tentu saja tidak. Jika Anya banyak klien, itu berarti kasus perselingkuhan di kalangan menengah atas semakin menjadi-jadi.
Sepertinya kota Cezar akan mendapat hukuman sebentar lagi.
"Ah ... ahh ... nikmat, Jeff ... lebih cepat lagi ...."
Anya memejam matanya. Pria berengsek itu ... sepertinya dia merindukan tinju Anya.
Lekas Anya beranjak dan berjalan cepat menuju ruang TV. Sampai di sana, dia harus dibuat melongo melihat TV besar yang menempel di dinding itu dengan jernihnya menayangkan adegan seks yang intim. Tak ada sensor, semuanya jelas. Film laknat begitu ... Anya sudah lebih dulu yakin bahwa itu pasti sudah menjadi konsumsi Kevan selama ini!
Anya lantas mengambil bantal sofa, lalu membidik bantal itu tepat ke kepala Kevan. Saat Kevan menoleh usai bantal mengenai kepalanya, Anya langsung berseru, "KAU MAU MATI, YA!!?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter Sweet Pervert
Romance"Aku tidak akan memberimu pilihan. Mau tidak mau, kau harus menikah denganku." ---------- Anya mendedikasikan dirinya untuk menjadi detektif swasta yang berfokus memata-matai kasus perselingkuhan. Suatu malam, Kevan sang CEO yang sedang naik daun t...