Sembilan

18.2K 839 11
                                        

Meski dia sudah mendekam di rumah barunya selama sebulan lamanya, entah mengapa Anya masih belum berani berkeliaran di Kota. Bahkan keluar rumah untuk membersihkan tumpukan salju di halaman rumah pun, dia masih agak takut dimata-matai Kevan dari jauh.

Ya Tuhan. Kenapa dia separno ini?

"Aku datang ke rumahmu kemarin. Tapi malah orang lain yang tinggal di sana. Kau juga mengosongkan apartemenmu. Apa kau pindah rumah, Ann?"

Anya mendengar suara kakeknya dari ponsel dengan perasaan sedikit berat.

"Iya. Aku pindah rumah, Kek." Anya memilin ujung sweater rajut yang dipakainya. "Aku ingin sendirian di tempat yang agak jauh selama musim dingin."

"Kau menghindari kakekmu?"

"Yeah ... bukan seperti itu juga, Kek. Aku memang hanya ingin sendirian."

"Di mana rumahmu sekarang?"

"Maaf, aku tidak bisa memberitahu Kakek."

"Kenapa kau melakukan ini pada satu-satunya orang yang menyayangimu dengan tulus?" Kakek diam sebentar sebelum melanjutkan, "Apa kau masih tidak nyaman melihatku, karena aku adalah ayah dari ibumu?"

Anya diam. Helaan napas Kakek terdengar berat. Apa dia baik-baik saja?

"Kalau kau butuh sesuatu, jangan sungkan menghubungiku."

"Baik, Kek."

Panggilan berakhir. Anya melempar ponselnya ke sisi kosong sofa yang dia duduki. Dia lalu mengangkat kedua kakinya, memijat ujung-ujung kakinya yang terasa dingin. Matanya tertuju kosong ke arah perapian yang menyala dalam rumahnya. Sebentar lagi, kayu bakar yang membara akan berubah jadi arang. Sementara persediaan kayu bakar sudah habis.

Agaknya, Anya hanya bisa menyalakan perapian listrik setelah ini.

Karena hari sudah malam, Anya memutuskan untuk berendam air hangat sebelum tidur. Lekas dia bangkit dan berjalan menuju kamarnya, melucuti seluruh pakaiannya hingga hanya menyisakan pakaian dalam saja.

Dengan langkah pelan, Anya berjalan ke kamar mandi tanpa memungut kembali pakaiannya yang tergeletak di lantai. Dia nyalakan knop keran bathtub, berjongkok di sisi luar bathtub sambil menunggu air penuh. Hawa air hangat membuatnya merasa tenang. Begitu penuh, dia langsung berendam.

Untuk sejenak, Anya memejam matanya sembari menikmati air hangat menghangatkan tulang-tulangnya. Nyaris dia tertidur jika dia tak tersentak lebih cepat.

Anya merasa sudah cukup. Dia pikir dirinya harus segera berbaring di kasur dan tidur. Usai bangkit, dia lekas mengenakan handuk kimononya. Kemudian keluar dari kamar mandi.

Saat mengutip kembali pakaiannya yang masih tergeletak di lantai, Anya menyadari sesuatu yang janggal. Matanya kemudian tertuju pada celah pintu kamarnya yang terbuka. Perasaan, dia sudah menutup pintu kamarnya dengan rapat. Tapi mengapa pintu kamar itu kini malah terbuka?

Apa Anya tak menutupnya dengan benar?

Dengan sedikit parno, Anya buru-buru menutup pintu kamar dan menguncinya. Sial! Karena pria gila itu, pikiran Anya selalu dipenuhi hal-hal horor sejak dia melihat Kevan tersenyum dingin ke arahnya.

Anya berharap pada imannya yang sedikit ini; semoga dia bisa melewati malam ini dengan tenang.

**

"Ann, Mama besok mau ke Bolgaro. Teman Mama menikah lagi, jadi Mama harus datang ke sana."

Kala itu, Anya melihat ibunya datang padanya membawa kue yang baru jadi. Sambil menerima piring kue yang diberikan ibunya untuknya, Anya bertanya, "Teman Mama yang mana?"

Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang