Empat Puluh Satu

7.6K 325 5
                                    

Karena termakan ancaman Kevan, Anya jadi sulit bersikap seperti biasa setiap matanya tak sengaja melihat ke arah pria itu. Kevan si sialan itu juga banyak tingkah. Ketika Anya tak sengaja melihat ke arahnya tepat saat pria itu sedang berganti pakaian, Kevan langsung menyeringai—seolah-olah bermaksud menakut-nakuti Anya.

Anya hanya menatap datar—sambil menyimpan kesal. Saat makan malam, Kevan makan dengan santai. Namun, Anya tidak! Sebentar lagi akan masuk jam tidur. Walaupun Anya masih punya waktu untuk memikirkan hendak bersembunyi di mana dia nanti, tetap saja dia gemetaran!

Kenapa Anya takut? Padahal, di kamar mandi tadi, Anya sempat terbuai sentuhan Kevan ....

"Anya."

Anya tersentak dan refleks mendongak. Melihat itu, Kevan jadi terkekeh ringan.

"Kau memikirkan apa? Dari tadi kau hanya menggulung spagetimu." Kevan menatap Anya lekat-lekat. "Jangan-jangan kau sibuk memikirkan lingerie apa yang kaupakai nanti?"

Alih-alih merespons pertanyaan Kevan, Anya memilih untuk fokus pada makanannya. Lebih baik mengabaikan pria itu daripada meja ini terbalik karena Anya.

"Jangan dijadikan beban. Kau pasti bisa melakukannya lebih baik daripada aku."

Meski Anya sudah bertekad tak akan mengacuhkan pria itu, tetap saja Anya selalu merasa terpancing. "Teruslah berharap. Tapi supaya kau tidak kecewa, biar kuberitahu kau sesuatu. Aku sama sekali tidak berbakat. Kupastikan aku akan diam seperti patung selama kau sibuk dengan urusanmu."

Kevan tertawa. "Tidak berbakat apanya? Aku kan jadi mesum begini karenamu."

Anya memegang gagang sendoknya erat-erat sambil memicingkan matanya ke arah Kevan. "Jangan jadikan aku sebagai alasan. Kau itu mesum karena tontonanmu cabul!"

"Kau tidak tau apa-apa, Sayang. Sesering apa pun aku menonton film biru, tetap saja dadaku berdebar hanya ketika aku memikirkanmu."

Anya mendesah sinis. "Aku benar-benar penasaran dengan jumlah wanita yang sudah kaupermainkan setelah kau putus."

"Mumpung sekarang aku pegang pisau, kenapa tidak kau belah saja dadaku? Supaya kau bisa melihat kalau di hatiku hanya ada kau?"

Anya semakin jengkel. "Bodoh!"

"Kau mengumpat, berarti kau merasa terpojok dan kalah."

"Kusebut kau bodoh karena kau memang bodoh!" Anya lantas menghabiskan makanannya dengan buru-buru. Meski dia sedang jengkel, saat dia menyantap habis makanannya dengan wajah memerah, itu terlihat lucu.

Kevan tak tahu mengapa Anya tiba-tiba menutupi kejengkelannya dengan menghabiskan makanannya secara buru-buru. Mungkin, Anya ingin cepat-cepat beranjak dari sini dan pergi dari Kevan. Makanya dia langsung menghabiskan makan malamnya.

"Jangan buru-buru begitu. Nanti tersedak." Kevan tersenyum tipis saat melihat Anya sama sekali tak mengindahkan sarannya. "Anyway ... supaya kau tidak tegang, bagaimana kalau setelah aku pulang ibadah nanti ... kita jalan-jalan sebentar? Aku tidak pernah main skating lagi sejak dua tahun lalu."

Kening Anya berkerut saat dia menatap Kevan tidak suka. "Sempat-sempatnya kau ingin main skating!?"

"Selagi ada teman, kenapa tidak?"

"Siapa yang kausebut temanmu?"

"Tentu saja kau."

Anya menyeringai dengan mulut penuh. "Maaf saja. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai teman."

"Tidak masalah. Itu tidak akan membuatku tersinggung. Itu juga tidak akan mengurungkan niatku untuk menghabiskan malam denganmu nanti."

Wajah Anya seketika berubah kecut. "Cih," decihnya tidak sopan. Kembali dia habiskan makanannya sambil menggerutu tidak jelas tanpa tahu Kevan memerhatikannya.

Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang