Enam Puluh Delapan

5.3K 326 11
                                    

Sepulangnya dari mengunjungi Erleen, Kevan mengajak Anya makan malam di restoran mewah yang ada di hotel bintang lima Heisenberg.

Anya tak banyak bicara, bahkan tak berbicara sama sekali. Menu makan malam favorit yang seharusnya Anya sukai, sejak tadi malah hanya diacak-acak.

"Kau tidak selera makan, Sayang?"

Anya mendongak. Sekilas, Kevan yang melihatnya tampak khawatir.

"Atau masih ada hal yang kaupikirkan?"

Senyum tipis Anya terbit. Kepalanya lalu menggeleng pelan. "Aku hanya berpikir kalau Kyo sangat mirip denganmu."

Jantung Kevan seperti tersetrum mendengarnya. Namun, seperti biasa, dia bisa menata ekspresinya dengan sangat baik.

"Aku jadi penasaran dengan foto-foto saat kau masih kecil."

Kevan kembali pada makanannya saat membalas, "Kalau foto ... kurasa ibuku banyak menyimpan album fotoku. Tapi aku tidak tau di mana dia menyimpannya."

"Kuharap ibumu segera bangun supaya aku bisa melihatnya." Saat Anya diam, dia terlihat sedang berpikir. Begitu dia mendongak, tiba-tiba dia bertanya, "Apa warna mata ayahmu juga abu-abu, Kev?"

Gerak sendok Kevan terhenti. Meski dia terkejut mendengar pertanyaan itu, lagi-lagi, dia menyembunyikan keterkejutannya dengan sangat baik.

"Kenapa pertanyaanmu seperti itu? Kaupikir dari mana lagi Kyo mendapatkan warna mata abu-abu?"

Walau bisa menyembunyikan paniknya dengan ekspresi datar, Kevan tanpa sengaja membalas pertanyaan Anya dengan nada tidak enak. Membuat Anya kontan terdiam, begitu pula dengan Kevan yang langsung sadar bahwa tak seharusnya dia membalas seperti itu.

"Maaf." Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Anya. Malah menambah rasa bersalah Kevan.

"Tidak, maksudku ...." Kevan mengesah. "Lupakan itu. Setelah ini kau mau ke mana? Akhir-akhir ini kau pasti bosan sendirian. Kalau kau mau ke suatu tempat ...."

Tanpa menatap Kevan lagi, Anya membalas, "Aku hanya ingin pulang."

Sejenak diam, Kevan lantas mengangguk. "Baiklah."

Pada akhirnya, Anya tak menghabiskan makanannya. Selama perjalanan pulang, Anya hanya diam dengan pandangan tertuju ke luar jendela. Kevan yang melihatnya juga hanya diam. Padahal, Kevan selalu punya cara untuk memulai obrolan. Entah mengapa, saat ini rasanya sukar. Kevan seperti terjebak dalam labirin yang dia buat sendiri.

**

Setelah memastikan Anya sudah terlelap, Kevan pergi ke ruang pribadinya; ruang di mana seluruh dindingnya tertutupi oleh poster-poster Anya.

Dengan jubah kimono yang dipakainya, dia berjalan-jalan meniti sisi demi sisi sambil meraba dinding. Sampai ketika dia tiba di hadapan poster paling besar, dia berhenti untuk memandangi foto Anya dengan tatapan kosong; menempelkan tapak tangannya di sana.

"Aku tidak tau bagaimana harus menyelesaikan ini." Sudut bibir Kevan terangkat sinis. "Mungkin akan lebih mudah kalau kau tidak curiga. Tapi firasatmu lebih tajam dari yang kukira."

Senyum sinis Kevan memudar. Seiring dengan itu, keningnya mulai berkerut.

"Harusnya aku tidak menyeretmu ke dalam hidupku. Tapi aku telanjur ...."

Kevan menahan kalimatnya. Meski dia tak mendengar apa pun, hawa kedatangan seseorang tetap menyentuh radar kepekaannya. Sontak dia menoleh ke belakang, mendapati Anya sedang berdiri di ambang pintu.

Cahaya remang masih dapat membuat Kevan melihat ekspresi rumit Anya.

"Sedang apa kau di sini?" tanya Anya. Nada suaranya terdengar seakan dirinya waspada.

Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang