Lima Puluh Tujuh

6.1K 362 3
                                    

Malam harinya, Kevan dan Anya sudah sampai di Pulau Souris. Mereka pergi menggunakan jet pribadi milik Kevan dan mendarat di bandara jetpri khusus milik Kevan pula.

Meski sudah memanjakan Anya dengan kemewahan dan segala kemudahan, Kevan masih saja belum mendengar pujian dari Anya untuknya.

"Rumah yang bagus."

Yang dipuji oleh Anya malah rumah ibu Kevan.

"Aku tidak menyangka masih ada rumah yang dibangun dengan bongkahan batu besar seperti ini," kata Anya lagi. "Tapi sepertinya rumah ini terlalu kecil untukmu. Apa kau akan baik-baik saja di sini? Telingaku sudah terlalu kebas karena mendengar omelanmu."

"Tidak masalah. Aku pernah besar di sini, saat ibuku kabur dari Martin."

Anya menatap Kevan dan bertanya, "Kabur?"

"Ya," angguk Kevan. "Setidaknya meski sekali, seorang istri pasti pernah kabur dari suaminya, 'kan? Tapi itu tidak akan berlaku untukmu."

"Kenapa?"

"Kenapa lagi? Tentu saja kau tidak akan bisa kabur dariku."

Anya tersenyum miring. Dia berjalan ke jendela kamar yang sudah Kevan buka sebelumnya. Angin menyibak rambutnya serta-merta. Dilihatnya bongkahan salju di permukaan laut Souris. Malam yang suram membuat Anya merasa seperti terjebak di zaman saat kekaisaran Cezar masih bertakhta.

Saat Anya menikmati malam yang beku ini, Kevan tiba-tiba sudah berdiri di belakang Anya, memeluk Anya dari belakang. Pria itu mengembangkan mantel tebal yang dia kenakan untuk membungkus tubuh Anya sekaligus, seakan-akan satu mantel berisi dua tubuh.

Anya merasa hangat, terlebih ketika Kevan menyuruk di lehernya untuk mencumbuinya. Entah sejak kapan, dia mulai suka Kevan menyentuhnya. Tapi kalau dibiarkan, tangan Kevan bisa berkelana.

Terdengar ringis dari mulut Kevan begitu Anya mencubit tangannya yang mencoba bermain di dada wanita itu. Anya kalau mencubit, cubitannya setara dengan cubitan kepiting.

"Kalau kau senggang, lebih baik kita tidur. Besok kita harus bangun pagi-pagi sekali untuk menyelidiki suami sahabatmu, 'kan?"

Kevan benar, tapi untuk ajakan tidur cepat, jelas sekali itu penuh maksud.

"Jarang-jarang aku menikmati malam hari di desa sunyi begini," ujar Anya. "Biar aku menikmatinya sebentar."

Kevan menghela napas. Kalau sudah menghela napas, berarti dia pasrah.

"Masa kecil ibumu pasti tenang sekali karena tinggal di sini," kata Anya. Tumben-tumbennya membuka obrolan setelah mereka diam beberapa saat.

"Hmm. Kurasa dia masih tetap kesulitan. Masalahnya dia tinggal dengan ibu tiri. Kalau kau tau kisah Cinderella, kau pasti bisa membayangkan bagaimana kisah ibuku. Sialnya pangeran yang melamarnya juga sama bejatnya."

"Kenapa kau terus-terusan mengutuk ayahmu? Kalau dia tidak ada, kau tidak akan berada di sini."

"Begitu, ya?"

"Iya. Jangan mengutuknya lagi."

"Berarti kalau aku tidak ada, kau tidak akan pernah bertemu denganku, ya?" Kevan mangut-mangut. "Itu buruk. Apa aku harus berterimakasih pada Martin karena telah membuatku lahir?"

Anya hanya tersenyum miring. Angin yang menerpa wajahnya lama-lama akan membuat kulitnya beku. Meski sebentar lagi musim semi akan tiba, suhu masih terasa menggigit.

"Aku mau tidur," kata Anya sambil melepaskan diri dari peluk Kevan supaya bisa menutup jendela. "Apa ada air panas di sini?"

"Ada. Kau mau mandi?"

Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang