Anya hanya disuruh diam saat Kevan membersihkan tubuh ibunya dengan telaten. Sudah pasti ada perawat khusus yang bertugas untuk itu, namun Kevan mengatakan bahwa dirinya sesekali juga ingin mengurus ibunya. Yah, selagi senggang.
Jarang-jarang ada anak yang sukacita merawat ibu yang sedang sakit di jaman sekarang. Bahkan jika Nadia—ibu Anya—tidak mati dan sakit di hari tua, kemungkinan besar Anya akan membayar orang lain untuk mengurus ibunya.
Kalau saja ibu Kevan tak memperlakukan Kevan dengan baik, apa Kevan akan tetap merawat ibunya seperti ini?
Terkadang ikhlas itu seperti omong kosong di siang bolong. Mengucapkan ikhlas di lidah selalu mudah, tapi hati tak akan pernah berbohong. Namun, Anya selalu jujur, baik itu lidah dan hatinya. Dia jujur bahwa sampai sekarang dia masih belum mengikhlaskan sakit hatinya pada ibunya.
Kalaupun Nadia tidak mati usai kecelakaan, tetapi malah koma seperti yang dialami oleh ibu Kevan saat ini, Anya pasti hanya akan membayar orang untuk merawat Nadia tanpa perlu datang untuk melihat keadaan ibunya.
Memaafkan boleh-boleh saja, tetapi tidak untuk mengikhlaskan. Dan Anya tak butuh orang alim untuk menceramahinya soal itu.
"Aku penasaran bagaimana ibumu setelah bangun nanti," celetuk Anya saat Kevan selesai memakaikan piama baru ke tubuh ibunya dan dibantu oleh seorang perawat. "Saat tidur saja dia sudah cantik. Apalagi ketika sadar."
Kevan mengambil sisir untuk menyisir rambut ibunya. Sementara perawat tadi sudah keluar.
"Ibuku dulu bunga desa di Pulau Souris. Semua bujang di sana harus patah hati saat ibuku dilamar oleh Kakek untuk dijadikan menantu. Kau bisa membayangkan secantik apa ibuku saat muda sampai membuat beberapa pria mengambang di laut karena patah hati mengetahui ibuku menikah dengan konglomerat."
Anya melebarkan mata. "Kau serius?"
Kevan tersenyum simpul. "Aku yakin ini bukan hanya tentang kecantikan semata. Ibuku juga terkenal lembut dan baik hati. Karena itu aku berharap ibuku mau bangun dari tidur panjangnya ini, supaya pandanganmu terhadap seorang ibu bisa berubah."
"Terima kasih. Semoga ibumu cepat bangun."
"Aamiin."
Saat Kevan ke toilet, Anya berdiri di sisi hospital bed tempat Priscilla berbaring. Orang koma harus diberi rang-sangan agar otaknya merespons. Tidak muluk-muluk yang Anya lakukan, dia hanya memberi lotion di tangan dan kaki Priscilla agar kulit mertuanya itu tak kering.
Begitu Anya memijat jemari kurus Priscilla dengan lotion, tiba-tiba Anya lihat jari Priscilla bergerak. Jantung Anya langsung salto di dalam—dia pikir Priscilla akan langsung sadar saat itu. Namun, tak ada kejadian apa-apa setelahnya. Tapi bukankah itu sebuah kemajuan?
Anya ingin memberitahu Kevan soal ini nanti supaya Kevan senang. Sayangnya, dia malah melihat Priscilla menitikkan air mata. Hati Anya mendadak tak enak.
Dengan perasaan berat, Anya mengusap sudut mata Priscilla. Jangan sampai Kevan melihat ini, atau Kevan akan sedih.
Kian Anya bergeming. Sejak kapan, dia mulai peduli dengan perasaan Kevan?
**
"Waktu cutiku tinggal dua hari lagi. Kau yakin kita tidak akan berbulan madu?" tanya Kevan saat mereka berjalan di selasar rumah sakit.
"Kurasa sudah seratus sekali aku mengatakan ini. Aku hanya akan liburan saat musim semi nanti."
Kevan menghela napas. "Ya sudah. Well, mumpung masih senggang, mungkin saja kau ingin ke suatu tempat hari ini? Biar kutemani."
"Sebenarnya aku sudah mulai menerima klien, sih ...." Anya mendongak dan menatap Kevan yang juga menatapnya. "Omong-omong, kau juga berbakat mencari tau seluk-beluk seseorang, 'kan? Sampai bau badan pun kau bisa menjadikannya sebagai data?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter Sweet Pervert
Romance"Aku tidak akan memberimu pilihan. Mau tidak mau, kau harus menikah denganku." ---------- Anya mendedikasikan dirinya untuk menjadi detektif swasta yang berfokus memata-matai kasus perselingkuhan. Suatu malam, Kevan sang CEO yang sedang naik daun t...