CHAPTER 14

2.5K 190 4
                                    

Keesokan harinya.

Raysen memasuki kamar tunangannya dan meraih remote diatas meja. Tirai besar terbuka lebar setelah Raysen menekan tombolnya dan seketika kamar yang tadinya redup kini nampak terang dengan sinar matahari yang masuk penuh.

"Ngh... Bi..." ucap Neels yang masih menutup mata.

Lelaki cantik itu menggeliat dan mendesis saat pusingnya efek alkohol masih tersisa. Dia perlahan membuka mata dan menyipitkan pandangan, menatap sosok buram yang berdiri tidak jauh dari ranjang.

"Oh Tuhan... Gue baru buka mata ini." keluh Neels saat melihat Raysen yang berdiri tegap bersedekap dada.

"Bangun, ada yang perlu kita bicarakan." titah Raysen bergerak menggeser pintu balkon dan duduk dikursi yang ada diluar.

Neels berguling dari ranjang sembari memukul bantal, mengambil sebungkus rokok dilaci nakas lalu berjalan malas mengikuti tunangannya. Lelaki cantik itu menguap sembari duduk disebrang tunangannya.

"Apa lagi sekarang?" tanya Neels menggosok mata dengan punggung tangan.

"Apa yang kamu lakukan semalam? untuk apa pengeluaran sebesar itu?" cerca Raysen mencoba mempertahankan ketenangannya.

Neels mengedikkan bahu dengan acuh tak acuh sembari mengambil sebatang rokok dan membakarnya.

"Cuma sedikit perayaan, bukan hal besar yang perlu di ributin." ucap Neels santai.

"Bukan hal besar? Puluhan juta habis dalam semalam Neels Natanius..." geram Raysen dengan kejengkelan yang semakin bertambah.

"Gak sampe seratus juta kan? Gue cuma booking seluruh Club dan sedikit minum-minum." jawab Neels lalu menyesap batang candunya.

"Itu pemborosan Neels... Setiap dollarnya berarti." sela Raysen yang dadanya mulai bergemuruh.

Neels melirik ilfeel lalu menyesap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara.

"Sial... Gue gak bisa bayangin ngabisin seumur hidup sama orang perhitungan kayak lo." Neels menjeda ucapannya. "Lagian itu juga duit bokap gue kenapa lo yang ribet."

"Saya tidak perhitungan ataupun mempersulit dirimu, tapi sekarang saya yang bertanggung jawab."

"Fine... But... Argh ayolah... Emang harus ya lo nyeret dan ceramahin gue kayak ibu-ibu cerewet begini?"

"Saya tidak cerewet, saya hanya berusaha menjalankan tanggung jawab."

Neels membuang napas kasar dan dengan sengaja mengeluarkan suara seperti seseorang yang begitu frustasi.

"Repot banget berurusan sama orang yang ngertinya cuma kerja, kerja, kerja, kerja dan gak pernah luangin waktu buat seneng-seneng." cibir Neels.

Lelaki cantik itu kembali menyesap rokoknya dan melirik Raysen yang sedang mengusap wajahnya kasar.

"Tolonglah sekali saja berpikirlah. Ini bukan tentang bisa atau tidak bisa bersenang-senang tapi kamu harus mulai memikirkan masa depanmu. Investasi, menghasilkan uang tanpa bantuan orangtua atau hal yang lebih berguna."

Raysen menengok kearah Neels, memandang tunangannya yang hanya menatap lurus sembari menyesap rokoknya.

"Lo tau paman..." Neels menjeda ucapannya dan menengok kearah Raysen. Mata mereka bertemu dengan kobaran emosi masing-masing. "Memuakkan rasanya bangun tidur disambut sama omelan masalah sepele yang di besar-besarin kayak gini."

Neels bangkit dari duduknya dengan pandangan yang masih tertuju pada Raysen, dia menyesap rokoknya sebelum melangkah.

"Berikan black cardmu." tegas Raysen menengadahkan tangan saat Neels akan lewat disampingnya.

Neels terkekeh miris, menerobos masuk mengambil black card yang ada didompetnya lalu kembali menghadap Raysen.

"Ini kan yang lo minta." ucap Neels memberikan cardnya diatas telapak tangan Raysen.

"Mulai sekarang saya yang akan mengatur pengeluaranmu, bicara dengan saya jika kamu butuh sesuatu." ucap Raysen.

"Terserah." jawab Neels ketus lalu masuk ke kamarnya menuju kamar mandi, membanting pintunya cukup keras hingga membuat Raysen memejam, memijit pangkal hidungnya.

Raysen mengatur napasnya untuk meredam emosi, beranjak keluar kamar Neels dan bergegas menuju kantor pencakar langit miliknya.

Beberapa saat kemudian. Raysen telah sampai dikantor dan dia baru memasuki ruangannya lalu menelpon Est.

"Ya sir?"

"Ke ruangan saya."

"Baik sir."

Raysen mematikan sambungan telepon lalu bergerak duduk di kursi kebesarannya bersamaan dengan ketukan pintu disusul masuknya Est.

"Ada yang perlu saya lakukan sir?" Raysen menggeleng.

"Duduk saja, saya ingin bicara."

Est mengangguk kecil lalu duduk dikursi yang berhadapan langsung dengan atasannya. Detak jantungnya meningkat, dia mencoba menyembunyikan kegelisahannya dan bersiap mendapat amukan Raysen entah apa masalahnya.

"Saya sangat pusing menghadapi Neels."

Est diam, masih mencoba memahami tuannya.

"Dia berulah lagi, 50 juta lebih habis dalam semalam." Raysen memijit pelipisnya.

"Boleh saya memberi saran sir?"

Raysen menatap asistennya sembari berpikir sejenak lalu mengangguk.

"Tell me..."

"Apa anda menghadapinya dengan sikap formal seperti ini sir?" Raysen mengangkat alisnya lalu mengangguk.

"Masalah?" tanya Raysen.

"Saya rasa itu masalahnya sir... Bagaimana jika anda mengubah metodenya? Seperti lebih bersikap santai dan tidak terlalu kaku."

Raysen diam, matanya mengedar sekitar dengan mempertimbangkan saran Est.

"Mungkin anda belum terbiasa menggunakan bahasa santai tapi dengan sedikit bersikap lembut, senyuman atau hal lain akan membuat tuan Neels luluh dan menurut."

"Merubah metode ya?" Raysen kembali berpikir. "Baiklah saya akan mencobanya." Est tersenyum mendengar keputusan atasannya.

"Semoga berhasil sir."

"Semoga saja."

Raysen menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mulai merangkai langkah apa saja yang akan dia gunakan.

~°°~
Vote dan komen.

Sudah? Terimakasih my ladies.

RODE || JOONGDUNKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang