CHAPTER 28

3.4K 226 10
                                    

_Selamat membaca_

Neels mengerang saat salah satu area tubuhnya terasa perih dengan punggung terasa remuk. Dia duduk bersandar di kepala ranjang, memijit kepala yang masih pening karena sisa alkohol semalam.

Dia menatap kearah kamar mandi dan menemukan Raysen keluar dengan handuk melilit dipinggul. Raysen hanya diam berdiri menghadap cermin, membelakangi Neels.

Manik bulat Neels menyipit saat memperhatikan bekas cakaran di punggung Raysen, garis-garis panjang dengan rona merah yang masih segar. Dia mengalihkan pandangan lalu menunduk.

"AAAAAA...!!!" pekik Neels melihat sebagian tubuh telanjangnya tertutup selimut.

Napasnya sesak melihat bekas cupang dibagian dada dan perutnya. Dia beralih cepat menatap Raysen dan pria itu berbalik tubuh melangkah mendekat.

"Apa yang terjadi paman?!!" tanya Neels dengan nada marah.

Raysen berwajah datar, berdiri ditepi ranjang dengan berkacak pinggang.

"Kamu tidak ingat?" Neels diam, menatap memar-memar kecil dileher Raysen.

"Apa yang kamu lakuin?" tanya Neels dengan wajah frustasi.

"Menemani bocah nakal bersenang-senang." goda Raysen dan Neels melotot menatapnya, menarik selimut menutupi tubuhnya hingga leher.

"Untuk apa di tutupi? Aku sudah melihatnya." Raysen diam sejenak menatap kedua mata Neels bergantian. "Semuanya." lirihnya tepat didepan wajah Neels.

Raysen berdiri tegak dan mengambil paperbag diatas meja lalu menuju kamar mandi.

"Pedofil." kata Neels dan Raysen melirik dari bahunya lalu masuk ke kamar mandi.

Neels mengatur napas, menutup wajah dengan telapak tangan dan mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Serpihan demi serpihan mulai terangkai namun tidak sepenuhnya lengkap, dia memukul-mukul dahi saat mengingat tindakan impulsifnya. Malu dan kesal dalam waktu bersamaan.

"Aku tidak mengambil cuti." kata Raysen saat pintu kamar mandi terbuka.

Raysen telah rapi dengan setelan jas licin serta dasi yang mencekik lehernya. dia berdiri didepan cermin dan melirik Neels dari pantulan.

"Segera mandi dan aku akan mengantarmu ke penthouse sebelum berangkat kerja."

"Pergi aja, aku masih mau tidur."

Raysen menilik arlojinya, berpikir sejenak tentang jadwal pertemuan yang semakin dekat.

"Baiklah..."

Raysen mengeluarkan sebuah kartu dan kunci dari saku celana lalu mengulurkannya pada Neels.

"Bawa ini bersamamu, aku akan pergi dengan taxi."

Neels menatap Raysen dan terlihat jelas keraguan dimatanya, antara malu, gengsi tapi juga butuh. Dan setelah beberapa detik dia memutuskan untuk menerimanya.

"Hubungi aku jika butuh sesuatu, aku pergi."

Raysen melangkah keluar dan Neels hanya diam menatapnya hingga menghilang dibalik pintu. Dia mengacak-acak rambutnya dengan jantung berdebar kencang.

Neels menilik sekitar dan segera menyambar ponselnya diatas nakas menghubungi Onic.

"Kenapa Neels?"

"Lo dimana?"

"Di apart."

"Bentar lagi gue kesana."

"Ha? Paman juga?"

Neels mematikan sambungan telepon tanpa menjawab, melempar ponselnya ke ranjang dan perlahan turun. Dia melangkah ke kamar mandi dengan tertatih-tatih, menyeka tubuhnya yang terasa lengket dan berendam air hangat.

2 jam kemudian

Neels mengetuk pintu apartemen Onic dan tak lama kemudian pintu terbuka. Dia menerobos masuk tanpa menunggu sambutan dari penghuninya.

"Sialan, permisi kek." kata Onic menatap pergerakan Neels yang kini menghempaskan tubuhnya ke sofa.

Onic menatap sahabatnya dan mengintip keluar lalu segera menutup pintu.

"Lo beneran sendirian?" Onic melangkah mendekati Neels yang duduk memejam menyandarkan kepala di sofa.

Onic melongo, menyipitkan mata sembari bergerak menyondongkan tubuh perlahan. Meneliti satu persatu tanda merah terang hingga gelap dengan berbagai ukuran.

"Neels."

"Hm" singkat Neels masih memejam.

"Lo sama paman nganu?"

Seketika Neels duduk tegap, membenarkan hoodienya.

"Apaan?" ucap Neels memasang wajah bodoh dan Onic menatap dari atas ke bawah lalu kembali ke wajah Neels.

"Neels, gue emang gak ada pasangan. Tapi gue tau, gue hapal itu tanda apaan anj... Lo ninuninu kan?" Neels menghela napas.

"Iya gue sex." ucap Neels lemah. "Tapi wajar kan? Dia suami gue." nadanya naik satu oktaf dan Onic menelan ludah.

"I-iya wajar... Wajar emang. Tapi maksud gue lo kan... Kalian..." ucap Onic mencari kata yang tepat dengan tangan yang bergerak bingung.

"Iya gue tau... Tapi kejadiannya begitu cepat." ucap Neels terdengar frustasi. "Gue gak tau setelah ini mau lanjutin hidup kayak gimana, masa depan gue hancur."

"Gak usah drama lo sialan... Masa depan lo terpampang nyata. NIKAH SAMA PEMILIK PERUSAHAAN NOMOR SATU DI TORONTO DENGAN PENGHASILAN 24.000 DOLLAR PER HARI." tegas Onic dan Neels semakin lemas.

"Gue tau tapi maksud gue bukan itu Nic... Lo tau orang-orang kayak gitu pasti kontroller banget."

"Tapi meskipun kayak gitu gue gak yakin lo bakal nurut sih."

"Itu tepatnya dan otomatis bakalan perang setiap harinya, gue gak sanggup dengerin omelannya dari pagi sampe malem."

"Ya diem-diem aja kalo gitu." celetuk Onic dan Neels menghela napas.

"Ada beer gak lo?"

"Di kulkas."

Neels beranjak menuju dapur dan mengambil sekaleng bir serta sebotol rum sedangkan Onic hanya menatap dari kejauhan.

"Mau minum lo?"

"Hm..."

"Gue mau keluar. Kalo mabok diem di kamar aja, kunci pintu kayak biasanya, lo resek kalo mabok."

"Mau kemana lo?" tanya Neels sembari duduk.

"Jalan." Neels mengerutkan alis.

"Tumben."

"Diem aja.... Gue nemu gebetan."

"Cih... Yaudah sono jangan balik lagi."

"Ini apart gue syalan." Neels tertawa sembari membuka kaleng beernya.

"Yaudah sana... Gue pinjem apart lo buat minum, gue stres."

"Serah lo..."

Onic beranjak dan melangkah keluar sedangkan Neels hanya menatap pergerakan sahabatnya dan segera menenggak beer di genggaman untuk menenangkan pikiran.






~°°~
Vote dan komen.

Sudah? Terimakasih my ladies.

RODE || JOONGDUNKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang