CHAPTER 50

2.6K 188 11
                                    

_Selamat membaca_

Cahaya matahari menerobos kaca tebal di penthouse milik Raysen. Dan saat ini dia sedang berada didapur, menyiapkan sarapan untuk pujaannya yang duduk dimeja makan.

Tatapan penuh kagum tak pernah hilang dari manik coklat milik Neels, memuji Raysen yang bergerak tanpa ragu di area dapur. Mahir pun lihai dia meracik sarapannya pagi ini.

Ponsel didekatnya berdering dan tatapannya beralih dari Raysen lalu ke ponsel bergantian.

"Dia tidak akan berbicara jika kamu hanya menatapnya." ujar Raysen melirik Neels sejenak.

"Punya paman."

"Siapa?"

"I don't know... Nomor gak di kenal."

"Tolong angkat untukku."

Neels meraih ponsel Raysen yang ada didekatnya, menerima panggilan dan menekan loudspeaker.

"Halo Ray... Ini aku Ponce." Neels diam, melirik kecil pada Raysen.

Dia takut. Takut salah bicara, takut salah bersikap dan takut berakhir seperti kemarin malam tapi dia juga merasa ada sedikit harapan saat tau Ponce yang menelpon.

"Halo Ray... kamu ada disana?" ponce kembali bersuara dan Raysen mengangguk saat menyadari keragu-raguan Neels.

"Halo Ponce... Ini Neels."

"Oh hai Neels... Ada Ray disana?" Neels melirik Raysen yang berjalan kearahnya dengan dua piring omelette.

"Y-ya... Dia ada disini."

"Okay... Aku hanya ingin menanyakan tentangmu pada Ray, Neels."

"Ada apa?" sahut Raysen duduk disamping Neels.

"Aku sudah mengurus semuanya dan hari ini aku ada jadwal, jadi Neels bisa datang ke sirkuit jika dia memang ingin mengembangkan diri."

Neels melotot menahan senyum dan Raysen berpura-pura tidak menyadarinya.

"Seperti dia tidak___ ssstttt." Raysen mendesis saat Neels mencubit lengannya.

Raysen menatap Neels datar dan Neels nampak memajukan bibir dengan mata anak anjingnya. Suaranya tercekat melihat ekspresi Neels yang baru pertama kali diperlihatkan setelah menikah.

"Aku akan membicarakannya lebih dulu." ralat Raysen.

"Okay... Jadwalnya jam 8 nanti, langsung saja datang ke sirkuit."

"Baiklah..."

Cekikikan Neels terdengar sesaat setelah sambungan telepon berakhir dan Raysen mencoba mempertahankan wajah datar untuk menyembunyikan detak jantungnya yang berdebar kencang.

"Paman..." rayu Neels dengan nada manja.

"No... Setelah ku pikirkan lagi, itu terlalu beresiko. Aku tidak mengizinkannya."

Neels merubah ekspresinya. Senyum dan tawanya hilang, diganti wajah murung dengan sirat kecewa.

"Tapi paman udah janji."

RODE || JOONGDUNKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang