CHAPTER 37

3.5K 258 35
                                    

_Selamat membaca_


Hawa dingin AC tiba-tiba menusuk kulit Neels saat Raysen meraih pinggangnya dan menariknya lebih dekat.

Tangannya yang lain bergerak dibelakang kepala Neels untuk memperdalam pagutannya. Oksigen keduanya mulai menipis dan Neels segera menarik diri dengan napas sengal.

Neels mengatur napas dan menyadari tatapan redup Raysen menekan dadanya. Dia terkesiap saat ibu jari Raysen menyapu bibirnya yang sedikit bengkak akibat ciuman.

Neels memejam, menikmati usapan lembut Raysen yang menyapu hasratnya hingga menumpuk. Bulu-bulu halus di leher belakang memberi tekanan aneh pada tubuhnya.

"Can i ask something?" tanya Raysen dan Neels semakin sesak mendengar suara lembutnya. Neels menghela napas sulit lalu mengangguk.

Raysen duduk di sofa lalu menepuk pahanya dan Neels terdiam, takut salah mengartikan maksud gerakan suaminya. 

"Duduklah disini."

"Ng...nggak bisa ya duduk yang normal?" tanya Neels ragu.

Raysen menarik pergelangan Neels dan membawanya duduk dipangkuan sedangkan Neels hanya diam membeku. Dia lingkari pinggang ramping Neels dengan lengan kokohnya.

"Jika aku mengatakan aku juga menyukaimu, kamu percaya?" Neels menegang dan menggeleng.

"Nggak mungkin, sikap paman ke aku aja dingin banget."

"Tapi aku serius, aku menyukaimu." Neels diam beberapa saat, mencari kebenaran atas ucapan Raysen.

"Sejak kapan?" tanya Neels menatap Raysen.

"Sejak kita mengucapkan sumpah dihadapan Tuhan dan pendeta." Raysen menjeda ucapannya, menilik ekspresi Neels yang nampak bingung. "Aku memang pernah menyukai Frey___" 

Neels memalingkan muka dengan tangannya mencoba melepas rengkuhan Raysen dipinggangnya.

"Dengarkan dulu." 

"Aku gak suka."

"Tolong dengarkan sebentar saja, aku tidak ingin ada kejadian seperti ini terulang lagi."

Neels berhenti bergerak dan tangan Raysen berpindah menangkup kedua pipi Neels, menatapnya dengan serius.

"Aku tidak tau kamu mendengar kisah lamaku dari mana tapi biarkan aku menceritakan sedikit saja dari sudut pandangku." 

"Paman tau gak sih rasanya sakit hati waktu mulut orang yang paman suka nyebut nama oranglain?" Raysen mengangguk.

"Aku tau, aku pernah merasakannya saat kamu menyebut nama Ponce sebelum kita melakukan malam___" Neels membekap mulut Raysen dengan tangannya sembari menggeleng.

"Jangan disebutin." lirih Neels dan Raysen mengangguk patuh membuat Neels melepas tangannya.

"Kenapa___" Raysen tertawa kecil saat Neels cemberut sembari menggelengkan kepala. "Baiklah... Baiklah... Jadi boleh aku melanjutkan ucapanku tadi?"

"Boleh, tapi tolong berhenti kalo aku gak mau denger lagi." Raysen mengangguk sebelum melanjutkan ceritanya.

"Dulu aku memang mengira jika perasaanku pada Frey lebih dari sekedar sahabat tapi sekarang aku sadar aku hanya sekedar kagum padanya." 

Raysen diam sejenak mencari ekspresi ketidaksukaan Neels atas ucapannya namun tidak ia temukan diparas cantik itu.

"Dia cerdas, sama ambisinya denganku dan itulah yang membuatku suka padanya. Aku selalu bersama dengannya karena aku bukan tipe orang yang mudah bergaul, bagiku tidak masalah aku memiliki satu teman asalkan dia sangat mengerti diriku dan aku menemukannya di sosok Frey. Sampai dimana dia mengenalkanku pada Ponce dan aku tidak suka dengannya."

"Kenapa?" tanya Neels dan Raysen mengedikkan bahu.

"Aku tidak tau tapi aku merasa dia bukan pria yang baik___"

"Tapi dia___" sela Neels terhenti saat ibu jari Raysen mendarat dibibirnya.

"Berhenti memujinya." ucap Raysen datar dan Neels mengangguk.

Raysen membenarkan posisi duduk Neels dan melingkari pinggangnya, mengusap punggungnya lembut.

"Aku sempat menegurnya tapi Frey tidak perduli dan itu membuatku marah, saat itu aku belum bisa mengendalikan emosiku seperti sekarang dan aku marah karena dia tidak mendengarkanku, aku marah karena dia tidak memberi makan egoku untuk menurutiku. Aku sempat mendiamkan Frey selama hampir satu tahun tapi disaat aku ingin memperbaiki persahabatan kita, tiba-tiba Ponce muncul dimedia dan menyinggungku disebuah acara televisi sampai media menggoreng berita kurang ajar tentangku."

"Berita kurang ajar?" Raysen mengangguk.

"Media mengatakan aku tidak kunjung memiliki pasangan karena patah hati dan sebagainya, aku terlihat seperti pria menyedihkan dan itu cukup merusak reputasi yang ku bangun. Aku berusaha memulihkannya dengan semua pencapaianku sampai aku lupa memikirkan perihal pasangan dan juga melupakan rasa suka ku pada Frey."

"Tapi paman keliatan bahagia banget waktu disapa Frey di pesta."

"Sesekali berpisahlah dengan sahabatmu dalam kurun waktu yang lama dan kamu akan merasa gembira saat bertemu lagi dengannya."

Neels diam mencoba memikirkan ucapan Raysen yang memang masuk akal baginya.

"Jadi perasaan paman bukan suka karena cinta tapi karena kagum?"

"Tepat sekali."

"Trus tentang kita? Apa kita memang sudah di jodohkan sejak awal? Sejak aku kecil?"

"Aku tidak tau karena daddy tidak pernah menyinggung tentang perjodohan kita. Saat itu mereka mengajakku untuk makan malam bersama karena sahabat daddy akan pindah ke luar negeri dan aku menyetujuinya. Kami mengobrol dan tiba-tiba daddy Off menawarkanmu padaku."

"Ha? Maksud paman, daddy promosiin aku kayak barang gitu?"

"Hahahahaha yes."

"Apa daddy nipu paman? Bilang kalo aku anak yang sangat berbakti dan cerdas gitu?" Raysen kembali tertawa sembari menggeleng.

"Daddy mengatakan semuanya, dia mengeluhkan semua tingkah laku kurang ajarmu."

"Kenapa paman terima?" Raysen mengedikkan bahu.

"Aku hanya merasa tertantang untuk melihat separah apa pemuda yang membuat mereka angkat tangan."

"Dan...?" tanya Neels dengan seringai menggoda.

"Dan ya... Aku hampir angkat tangan juga." Neels tertawa. "Sabarku benar-benar di uji sampai ke inti bumi tapi disaat yang sama aku merasa semakin tertarik, aku terus mendorong diriku sampai perasaan aneh itu muncul. Aku kesal kamu dekat dengan sahabatmu dan Ponce, aku terus mencoba memahami pergaulanmu sampai aku bisa menerima interaksimu dengan gengmu tapi aku tetap tidak bisa menerima kedekatanmu dengan Ponce."

"Karena Ponce ngerebut Frey dari paman?"

"Aw....!!!" erang Neels saat Raysen menjentik dahinya.

"Karena aku menyukaimu."

Neels diam dengan pipi bersemu merah, dia memeluk leher Raysen saat pipinya terasa panas.

"Jadi kita saling menyukai?" ucap Neels tertahan dilekuk leher Raysen dan Raysen membalas pelukannya, mengusap punggungnya penuh sayang.

"Hm... Kita hanya termakan ego dan gengsi tapi aku berharap kita bisa mengerti satu sama lain setelah mengetahui perasaan masing-masing."

Neels mengangguk dan mengeratkan pelukannya.

"Tolong perdalam lagi kesabaranmu paman."

"As you wish, little brat."

Neels terkekeh mendengar panggilan Raysen untuknya.






~°°~
Vote dan komen.

Sudah? Terimakasih my ladies.

RODE || JOONGDUNKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang