72

146 13 0
                                    

Jeno termangu mendengar setiap ucapan si kembar itu. Entah dari mana mereka tahu mengenai perasaan yang dirasakannya belakangan ini, padahal tak pernah sedikitpun Jeno memberitahu kepada siapapun.

"Berhenti bicara omong kosong!" bentaknya. "Tahu apa kalian tentang kehidupanku. Tidak ada yang berhak menyentuh apalagi berbicara seolah kalian mempunyai hak atas istriku!"

Haechan tertawa kecil, suaranya menambah ketegangan di setiap sudut ruangan. Ialu berjalan mendekati Jeno dengan langkah tenang namun penuh ancaman. Tangan Haechan menyentuh pistol yang digenggam Jeno, perlahan menurunkannya.

"Kami tahu semuanya, Jeno." katanya dengan nada tenang, namun sarat akan kesombongan. "Rasa takutmu setiap kali Yuta tidak berada di dekatmu, kecemasan yang menggerogotimu setiap detik saat kau harus meninggalkannya sendirian. Bahkan keputsasaan yang kau sembunyikan dari banyak orang, termasuk Yuta sendiri. Jangan kau pikir kami tidak mengawasi kalian."

Jeno membeku setelah mendengar ucapan Haechan tadi. Kata kata Haechan menggema di benaknya, membuatnya kehilangan kendali sejenak. Jantungnya berdegup kencang, namun tubuhnya tak mampu bereaksi. Tatapan matanya yang tajam menatap Haechan mulai kehilangan ketegasannya, sementara genggaman pada pistolnya perlahan melemah.

"Kau tak perlu khawatir, kami tidak akan menyakitimu," lanjut Haechan, suaranya berubah menjadi hampir sperti bisikan yang menenangkan, namun mengandung ancaman terselebung. Ia melangkah keluar dari kamar mandi dengan santai, melewati Jeno yang masih membeku.

"Kami akan memberimu waktu sebentar bersama Yuta. Nikmatilah saat saat terakhir ini, karena dalam waktu singkat kami akan kembali ... untuk membawanya."

Haechan melangkah keluar dari kamar, di susul oleh kembarannya. Sebelum keluar sepenuhnya, Jaemin berhenti di ambang pintu dan menoleh ke arah Jeno. Dengan seringai mengerikan di wajahnya, ia menambahkan, "Jika ingin menghentikan penderitaan mu, berhentilah melawan dan cepat serahkan Yuta."

Haechan dan Jaemin keluar dari rumah ini dengan arogannya. Kemuculan mereka langsung disambut oleh beberapa orang bersenjata yang telah mengepung wilayah rumah ini. Puluhan pistol diarahkan ke tubuh mereka, namun Haechan dan Jaemin sama sekali tak menunjukkan rasa takut dan gentar.

Sebailknya, mereka malah tersenyum penuh ejekan, seolah situasi ini bukan suatu masalah besar bagi mereka.

"Wow, sambutan yang cukup meriah," ujar Jaemin dengan sikap santainya, seringai kecil terukir di wajahnya. "Tapi, apa kalian pikir ini cukup untuk menghentikan kami?"

Haechan melangkah terlebih dahulu mendekati orang orang itu dan Jaemin dengan santai menyusul. "Tak perlu repot repot, kami sudah selesai di sini. Kami akan pergi sekarang," kata Haechan setenang mungkin, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jasnya.

Orang orang bersenjata yang diyakini bawahan Jeno itu tetap siaga, senjata mereka tetap di arahkan, tetapi tidak ada yang menembak lebih dulu.

Haechan dan Jaemin masuk ke dalam limosin hitam yang sudah menunggu di halaman. Sopir mereka, seorang pria berwajah tegas nan dingin, langsung menghidupkan mesin tanpa menunggu perintah.

"Semua sudah berjalan sesuai rencana," kata Jaemin sambil merebahkan dirinya di kursi belakang, seringai puas masih melekat di wajahnya. Sementara Haechan yang duduk di sebelahnya mengangguk setuju sambil melonggarkan dasinya.

"Jeno pasti mulai hilang kendali pada dirinya sendiri. Kita tinggal menunggu langkah selanjutnya," balasnya tanpa melihat ke arah kembarannya. Matanya menatap lurus kediaman Jeno yang dikelilingi banyak orang.

Limosin hitam itu melaju meninggalkan area rumah Jeno dan diikuti beberapa mobil hitam lainnya dengan tenang, meski ketegangan masih terasa di udara.

Irine melihat mobil mobil itu semakin jauh, mulai memberikan instruksi pada para bawahannya. "Ikuti mereka, jangan sampai mereka lepas!" ucapnya tegas, suaranya penuh wibawa.

Step Brother Na YutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang