71

183 13 0
                                    

Setelah makan malam bersama, Jeno dan Yuta kembali pada rutinitasnya masing masing. Yuta mengurus bayinya sampai tertidur di kamar, sedangkan Jeno berada di ruang kerjanya, duduk melamun sambil menatap kosong layar monitor yang menampilkan grafik pekerjaannya.

Pikiran Jeno terus dipenuhi wajah Yuta yang nampak tenang namun sarat akan kecemasan yang mendalam, membuatnya terus merutuki diri sendiri. Jeno sudah mencoba sekuat mungkin untuk menyingkirkan rasa tak nyaman ini, tapi tetap saja, semakin Jeno mengabaikannya, semakin besar pula rasa bersalahnya pada Yuta.

Keresahan itu terus menggerogoti pikirannya, membuatnya sulit berkonsentrasi pada pekerjaan yang harus diselesaikan, hingga akhirnya Jeno memutuskan untuk mematikan komputernya lalu pergi meninggalkan ruang kerjanya menuju kamar.

Begitu keluar dari ruang kerjanya, pandangan Jeno jatuh pada jendela yang di terpasang tralis. Ia berhenti sejenak, memperhatikan dengan tatapan penuh nestapa. Muncul bayangan Yuta yang terkurung dalam sangkar dengan wajah tersenyum di benaknya, membuatnya kembali sesak di dadanya.

Jeno seketika menepis pikirannya, mengenyahkan keraguan yang terus menghantuinya dan berusaha untuk tetap tegar. Dengan langkah pelan, Jeno melanjutkan perjalanannya menuju kamar.

Ketika pintu kamar terbuka, pandangan Jeno kembali jatuh pada pintu berkaca balkon yang juga di tralisnya, ia terdiam di ambang pintu, rasa bersalah kembali menyeruak di hatinya. Pintu yang seharusnya menjadi penghubung dengan dunia luar kini tampak seperti dinding pembatas tak kasat mata tetapi begitu nyata.

Jeno langsung memalingkan pandangannya, ia melihat Yuta yang sudah terlelap di samping bayi mereka dengan wajah tidur terlihat begitu damai. Pemandangan itu sejenak menghapuskan semua keresahan di hatinya..

Dengan langkah perlahan, Jeno mendekat, ikut masuk ke dalam selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh Yuta. Jeno memberikan kecupan dalam di bahu Yuta sampai membuat si empunya terbangun.

"Jeno ..." panggil Yuta dengan suara paraunya.

Jeno tak membalas panggilan istrinya, malah, ia mengukungnya. Pelan tapi pasti, Jeno memasukkan tangan kekarnya ke dalam baju Yuta, membiarkan jemarinya menyentuh kulit sang istri dengan lembut, seolah memberikan kehangat yang selama ini ingin ia sampaikan tanpa kata kata.

Yuta merasakan setiap gerakan itu, membuat jantungnya berdebar. Perlahan, ia menarik napas panjang, meresapi kehadiran suaminya yang begitu dekat. "Jeno, apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan suara hampir membisik, terdengar seperti sebuah protes.

Jeno semakiin merendahkan tubuhnya hingga tak ada jarak diantara mereka. "Yuta ..." panggilnya lirih, tepat ditelinga Yuta. Suara Jeno yang hangat nan lembut membuat Yuta merasakan sensasi hangat di dadanya.

Ingin Yuta kembali mengeluarkan suaranya lagi, namun kata katanya hilang tertelan perasaan campur aduk yang tak bisa dijelaskan. Sentuhan Jeno benar benar terasa berbeda dari biasanya, seakan ada yang ingin disampaikan lewat sentuhan itu.

"Yuta ..."

Jeno memberikan jilatan kecil di daun telinga istrinya, lalu menuju ke lehernya. Menciumnya sekaligus memberikan gigitan kecil sampai meninggalkan jejak di sana yang membuat Yuta menggeliat dan mengeluarkan desah pelan.

"Nghhh ... Jeno ..." gumam Yuta, matnya setengah terpejam.

Yuta pun berbalik sedikit setelah Jeno menggigit lehernya, menatap wajah suaminya dengan raut sedikit kesal. "Sudah larut malam, Jeno. Kau harus segera istirahat, besok kau masih harus bekerja, kan?"

Jeno tersenyum tipis, menikmati ekspresi kesal yang terpancar di wajah istrinya. "Hanya sebentar," bisiknya lembut, tepat di telinga Yuta. "Aku janji tidak akan lama."

Step Brother Na YutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang