Pagi harinya, seperti yang dikatakam Yuta semalam, saat ini Jeno tengah mendengarkan ultimatum dari dokter, setelah memeriksa kondisi Yuta. Jeno terus menundukkan kepala sambil mengangguk setiap kali dokter itu mengeluarkan suaranya.
"Apa anda lupa kalau kehamilan istri anda ini sangat beresiko?!" tanya dokter dengan nada tegas.
Jeno mengangguk, "t-tidak, dokter," jawabnya yang takut dan gugup. Yuta hanya bisa menahan tawanya melihat keadaan suaminya di marahi oleh dokternya. Padahal, Yuta sudah memperingatkan bahkan memohon pada Jeno, tapi suaminya itu tidak mau mendengar.
Jeno hanya bisa mengangguk pasrah setiap dokter itu terus menerus menyalahkan dirinya, sampai perawat yang berdiri di belakang dokter itu hanya bisa diam dan menatap iba pasiennya. Sampai beberapa saat lamanya, Jeno dan Yuta keluar dari ruangan.
Semua pasien yang sejak tadi menunggu, menatap ke arah mereka berdua dengan tatapan iba, dan ada juga yang menatap kesal karena sudah membuatnya menunggu lama. Jeno dan Yuta melangkah menjauh, kemudian Jeno menghela napas panjangnya, merasa sudah melewati masa menegangkan di sana.
Yuta kembali tertawa melihat suaminya yang terlihat sedih seperti ini. Sedangkan Jeno yang sedari tadi tidak mendapatkan pembelaan dari istrinya pun mulai kesal. "Kenapa kau dari tadi hanya menertawai ku?" tanyanya, kesal.
"Salah mu sendiri tidak mau mendengarkan ku," balas Yuta.
Jeno mendengus kesal, istrinya ini tidak berpihak kepadanya. "Lain kali, lakukan dengan hati hsti dan lebih lembut lagi, mengerti?" ucap Yuta yang terdengar lembut. Jeno mengangguk dengan wajah murungnya, membuat Yuta semakin merasa gemas pada suaminya.
"Daripada kau menekuk wajah mu seperti itu, bagaimana kalau kita menghabiskan waktu di luar? Kita pergi jalan jalan mengunjungi banyak tempat, lalu makan, dan pulang saat hari sudah malam, mumpung hari ini akhir pekan."
Medengar itu, wajah Jeno yang semula redup menjadi lebih semakin cerah. Senyum lebar mengembang di wajahnya sampai kedua matanya membntuk bulan sabit. "Haruskah?" Jeno merangkul Yuta dengan semangatnya, lalu mereka berdua pergi menghabiskam waktu bersama di akhir pekan ini.
Setelah dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk berjalan jalan di sekitar taman. Udara hangat di siang hadi, dan suara burung burung di kejauhan menambah suasana damai. Jeno menggenggam erat tangan Yuta, tak sekali pun melepaskannya, seolah tak ingin melewatkan momen kebersamaan ini.
Langkah mereka terasa begitu ringan bercampur dengan tawa dan cerita cerita sederhana yang mengalir tanpa beban. Setelah mengabiskan waktu di taman, mereka melanjutkan berjalan ke kafe terdekat dari taman ini. Kafe itu terlihat sederhana, aroma kopi yang khas langsung tercium begitu masuk kedalamnya, ditambah dengan musik yang mengalun lembut.
Yuta duduk di dekat jendela, sementara Jeno dengan senang hati memesan makanan. Di saat Yuta tengah menunggu, pandangan Yuta menatap ke arah luar, melihat orang orang berlalu lalang. Tak lama kemudian, Jeno kembali dengan nampan berisikan pesanan mereka di tangannya.
Jeno duduk di sebelah Yuta, dan mereka menikamati hidangan ini sambil kembali bercerita yang diselingi tawa. Suasana hangat dan penuh canda sampai melupakan segala kejadian yang pernah terjadi sebelumnya.
Jeno berharap kedamaian ini terus berlangsung lama, tanpa adanya sedikit gangguan dari entitas yang tidak di kenal. Jeno berharap momen momen seperti ini bisa terus terulang lagi di kemudian hari.
***
Seiring berjalannya waktu, usia kandungan Yuta sudah memasuki trimester ketiga. Perutnya semakin membesar, dan gerakan bayi semakin terasa. Dikarenakan kehamialnnya yang rentan, Yuta harus dirawat di rumah sakit agar bisa selalu dipantau langsung oleh dokter.

KAMU SEDANG MEMBACA
Step Brother Na Yuta
FanfictionSi kembar yang tak terima jika Yuta menjadi kakak tiri mereka.