Prolog

20.5K 1K 3
                                    

Ada tiga hal yang dibenci Clarence.

Tiga, jika tidurnya diusik.

Dua, jika dia harus berbicara lama dengan orang tuanya di telpon.

Satu, rumahnya. Indonesia.

"Aku belum mau pulang Pa."

"Kamu sudah terlalu lama melarikan diri dari rumah Claire."

Sekarang jam 12 malam dan Clarence terpaksa harus bangun dari tidurnya karena handphonenya yang tidak berhenti berdering berkali-kali. Triple sial! Dia membatin.

"Tapi aku mau kerja dulu di sini."

"Kamu bisa kerja di perusahaan Papa. Sejak awal, itukan alasannya kenapa kita sepakat kamu sekolah arsitektur?"

Clarence mendengus sebal.

"Papa sudah kasi kamu keringanan dulu, Clarence. Diam di sana selama satu tahun setelah kelulusan kamu. Dan sekarang sudah satu tahun. Papa kasi kamu pilihan. Kamu pulang sendiri paling lambat bulan depan, atau Papa yang ke sana dan seret kamu pulang."

Clarence mengatupkan bibirnya. Ayahnya tidak pernah main-main dengan ucapannya. Dan diseret pulang adalah hal terakhir yang dia ingin lakukan.

"Kamu masih di sana?"

Suara Ayahnya di seberang membuat Clarence mendesah. "Aku akan pulang sendiri Pa."

Terdengar suara hembusan nafas di ujung sana. Clarence ikut menghelas nafas berat.

"Sekarang sudah malam dan aku perlu tidur. Lain kali Pa, tolong cek jam di London sebelum nelpon aku."

Ayahnya terkekeh dan Clarence tidak menemukan ada hal lucu di perkataannya tadi.

"Lain kali ketika Papa menelpon kamu. Papa mau kamu sudah berada di zona WIB."

Deep AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang