Lima Puluh Empat

6.8K 379 8
                                    

The Feeling — Justin Bieber;Halsey

"Apa lagi yang kita butuhkan Ari?"

Clarence menatap troli belanjaannya yang penuh dengan bahan-bahan membuat kue. Ari ikut meneliti apa saja yang sudah masuk ke troli mereka.

"Sepertinya sudah cukup," kata Ari dan mereka langsung menyusuri supermarket itu untuk menuju kasir. Seseorang tiba-tiba berlari cepat menabrak Clarence dengan keras membuatnya terjatuh bersamaan dengan trolinya, membuat semuanya berserakan.

"Maaf saya buru-buru," kata pria yang menabrak Clarence dan tetap berlari.

"Nyonya!"

Ari buru-buru berlutut di sebelah Clarence yang mengaduh kesakitan. "Clarence kamu tidak apa?" tanya sebuah suara feminim. Clarence menoleh dan mendapati Arina sudah membantunya mengembalikan barang-barang yang berserakan ke trolinya.

"Bu, tidak apa-apa?" tanya seorang staff laki-laki sementara Arina membantu Clarence berdiri. Clarence hanya mengangguk bingung karena terkejut.

"Bagaimana bisa sih orang berlari-lari seperti itu dibiarkan? Kalian kenapa tidak menegur?!" Arina menatap sengit staff yang sekarang terlihat merasa bersalah. "Maaf, Bu," katanya.

Clarence menggeleng. "It's okay. Bukan salah mereka," katanya. "Aku cuma sedikit kaget."

Arina masih menatap sengit staff itu sementara beberapa orang kini melihat ke arah mereka. "Sudah saya tidak apa-apa. Ari, ayo kita ke kasir," kata Clarence, tidak ingin menjadi pusat perhatian lebih lama.

Clarence akhirnya menyadari sesuatu. "Arina, kamu sedang apa disini?" tanyanya kepada Arina yang kini berjalan bersama mereka.

Arina membuka mulutnya kemudian menutupnya lagi, seperti kebingungan. "Aku, belanja tentu saja," katanya kemudian. Clarence melihat Arina dari atas sampai bawah. "Kamu tidak mendorong troli ataupun membawa keranjang."

Arina mengedipkan matanya beberapa kali. "Aku, baru mulai belanja," katanya lagi. "Lupa mengambil keranjang. Kamu ingin membuat kue?"

Clarence merasa Arina sedang mengalihkan pembicaraan tapi ia tidak ambil pusing soal itu. "Iya, sehabis ini mau ke rumah Mamanya Landon. Buat kue, sama Mama aku dan Ari juga. Kamu mau ikut?" tanya Clarence ragu.

Arina tersenyum kecil. "Boleh?"

Clarence mengangguk. Ketika mereka sampai di kasir Ari langsung menaruh barang-barang mereka untuk discan. "Kamu tidak jadi belanja?" tanya Clarence.

Arina menggeleng. "Tidak jadi, hm, mungkin nanti, atau besok," jawabnya. Clarence mengangguk saja sebagai jawaban.

"Ari biar aku bawa satu kantung," kata Clarence ketika melihat Ari membawa dua kantung plastik. Ari tersenyum, "Yang ringan ya Nyonya," katanya sambil menyodorkan plastik ke Clarence.

Arina langsung merebut plastik itu sebelum Clarence berhasil menggapainya. "Biar aku saja," katanya.

Clarence mengerutkan keningnya tapi terlalu malas mendebat.

***

"Sepertinya cookies kita berhasil," kata Giana saat mereka duduk di paviliun halaman belakang rumah Landon. Vivianne tersenyum sembari menyeruput tehnya. "Thanks to Ari dan kemampuan memasaknya yang luar biasa," kata Vivianne kemudian.

Clarence tersenyum menanggapi perkataan dua orang tersebut sementara Ari sibuk merendah. Arina yang duduk di antara mereka juga ikut tersenyum tanpa banyak bicara. Bahkan ketika mereka memasak tadi, Arina tidak banyak bicara, walaupun tidak ada tanda-tanda canggung dalam sikapnya.

"Oh iya, Arina, aku lupa bertanya ke kamu tadi, bagaimana bisa kamu kenal dengan Clarence?" tanya Vivianne.

Arina tersenyum lebar kemudian menjawab, "Aku dikenalkan oleh Landon dengan Clarence. Kami bertemu saat Landon, setelah sekian lama, mencari aku untuk menjadi instruktur boxingnya lagi."

Vivianne menatap antusias. "Landon? Boxing?" tanyanya.

Arina mengangguk tak kalah antusias.

Clarence kemudian merasakan getaran dari kantung celana jeansnya. Ia kemudian menarik handphonenya dan mendapati Landon adalah penyebab getar itu.

"Speaks of Landon, sepertinya dia rindu dengan Clarence," kata Arina sambil melirik Clarence yang kini menatap layar ponselnya.

Clarence tersenyum kecil kemudian izin untuk meninggalkan mereka. Ketika ia berada cukup jauh dari perempuan-perempuan itu, Clarence akhirnya mengangkat telpon itu.

"Halo."

"Aku pikir sambungannya hampir putus karena kamu tidak menjawab," kata Landon.

"Aku sedang di rumah Mama kamu dan kita sedang ngobrol. And, you know what? Ada Arina di sini," kata Clarence.

"Oh ya? Pasti ribut ya?" kata Landon biasa saja. Clarence menggigit bibirnya. "Iya, ribut sih," katanya mengingat ketika Arina tak henti berbicara dan membuat semua orang tertawa saat mereka memasak tadi.

"Buat kue apa?" tanya Landon.

"Cookies, cheesecake, et cetera, et cetera," jawab Clarence. Tiba-tiba saja Clarence menyadari sesuatu. "Kamu tau darimana aku kesini buat kue? Perasaan aku cuma bilang mau masak aja deh tadi pagi?"

Landon diam sebentar. "Enggak, tadi pagi kamu dengan jelas bilang akan buat kue."

Clarence mengerutkan keningnya.

"Wish I was there, aku ingin mencicipi kue buatan istri aku," kata Landon lagi karena Clarence tidak kunjung bicara.

Clarence menaikkan alisnya kemudian tersenyum. "Aku bisa anter ke kantor kamu. Gimana?"

Deep AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang