Dua Puluh Tujuh

8K 567 9
                                    

Hari ini adalah hari pertama Landon kembali ke kantor setelah cuti sakit kemarin. Clarence sudah berada di dapur dan membuatkan sarapan untuk Landon. Hal itu dia lakukan semata-mata agar Landon tidak sampai sakit lagi.

"Pagi."

Clarence melirik Landon sekilas. "Pagi."

Dua piring sandwich sudah tertata di atas meja makan dan Clarence memilih duduk duluan dan memulai sarapannya.

Seperti yang Clarence duga, ketika Landon duduk di depannya, suasana berubah menjadi canggung yang menyesakkan. Clarence baru saja memutuskan untuk tidak berlama-lama di sana dan menyelesaikan sarapannya ketika Landon membuka suara.

"Tangan kamu gimana?"

Clarence menatap Landon beberapa detik kemudian mengangguk pelan. "Well, udah lebih baik."

"Berbekas?"

Clarence tersenyum kecut. "Gak terlalu," katanya. "Karena rutin pake gel penghilang bekas luka."

Landon mengangguk. Kemudian berdiri sambil membawa piringnya yang sudah kosong ke wastafel. Pria itu menyalakan keran, hendak mencuci piringnya.

"Stop!" Clarence berdiri dan dengan cepat menghampiri Landon.

"Kenapa?" tanya Landon bingung.

Clarence memutar matanya. "Kamu udah pake pakaian lengkap gini mau nyuci piring?"

Landon menaikkan alisnya kemudian berkata, "Emang kenapa?"

Clarence memutar matanya lagi, kali ini diikuti hembusan nafas berat. "Udah sana, aku yang cuci. Aneh liatnya kamu nyuci piring pake baju gituan."

Landon menyingkir dan membiarkan Clarence mencuci piring tadi. Lelaki itu mengelap tangannya yang basah kemudian mengambil segelas air kemudian meminumnya.

Landon merasa dia perlu berbicara banyak dengan Clarence. Dia ingin hubungannya kembali seperti kemarin sebelum mereka ciuman. Setidaknya, dia menikmati Clarence sebagai teman ngobrol. Bukannya, canggung-canggungan seperti sekarang.

"Aku berangkat dulu," kata Landon pada akhirnya ketika otaknya tak kunjung menemukan topik pembicaraan, dan waktu juga sudah mepet.

Clarence menoleh ke Landon yang menatapnya lama, seolah menunggu persetujuan darinya. Clarence mengangguk, dan Landon membalikkan badannya.

"Eh, Landon, tunggu," cegat Clarence. Landon membalik badannya, dan Clarence melanjutkan omongannya. "Aku nanti mau jalan sama Aidan." Clarence menunggu reaksi Landon, namun pria itu hanya diam. "Aku cuma mau ngasi tau aja."

"Kalau aku larang?"

Clarence mengendikkan bahunya. "Aku ngasi pernyataan, bukannya pertanyaan."

"Jadi, kamu tetep pergi?"

"Jadi, kamu larang?"

"...."

Clarence menghembuskan nafasnya. Mematikan keran kemudian menatap Landon tajam. "Sebenarnya bagian Aidan yang mana yang selalu buat kamu naik darah Landon?"

"..."

"See, kamu selalu marah tanpa sebab."

"...."

Landon mengendikkan bahunya berusaha bersikap acuh tak acuh. Sementara, pikirannya bergulat mencari jawaban pertanyaan Clarence.

"Aidan itu baik loh, dia temen aku dari lama banget. Dia juga mantan pacarnya Charlene."

Landon menaikkan alisnya. "Charlene?"

Clarence tiba-tiba merasakan lidahnya kaku. Sudah lama dia tidak pernah lagi membahas soal Charlene.

"Dia kakak aku."

Landon terlihat makin bingung. "Kakak? Kakak yang mana? Sepupu?"

"Kandung, udah lama meninggal."

"....."

"...."

"I'm so sorry."

Clarence mengangguk menanggapi perkataan Landon barusan.

"Sepertinya ada banyak sekali yang belum kita tau tentang satu sama lain, Clarence."

Clarence mengangguk lagi.

"Well, kita pendekatannya nanti, sekarang aku harus berangkat," Landon melirik jam tangannya sekilas. "Selamat senang-senang sama Aidan."

Landon kemudian beranjak dari sana, meninggalkan Clarence yang menyerngit bingung. Entah kenapa dia merasa aneh ketika Landon membiarkan dia pergi begitu saja bersama Aidan.

Tiba-tiba handphonenya berdering membuat Clarence segera melihat siapa yang menelponnya.

Landon Najandra.

Clarence yakin dia belum mendengar suara mobil meninggalkan rumah, jadi untuk apa Landon menelponnya?

Clarence kemudian mengangkat telepon itu dan segera berkata. "Kenapa? Ada yang ketinggalan? Mau diambilin?"

Landon di seberang sana menghembuskan nafasnya kasar. "Kalau aku bilang aku tidak suka lihat kamu dekat sama dia sedangkan kamu menjaga jarak yang jauh sekali diantara kita. Kalau aku bilang aku benci lihat kamu jalan dengan cowok lain terutama Aidan. Kalau aku bilang aku benci ketika orang lain bisa membuat kamu tertawa dengan mudahnya sedangkan aku tidak. Kamu bisa terima?"

Clarence diam.

"Tapi balik lagi, Clarence. Itu urusan kamu, aku gak terlalu perduli. Selamat bersenang-senang!"

Deep AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang