Satu

18.4K 905 2
                                    

"Clarence Alayna Millard!"

Clarence menolehkan kepalanya dan mendapati Sarah, teman lamanya sedang berjalan cepat ke arahnya setelah setengah berteriak memanggil namanya di tengah cafe yang sedang ramai.

"Masih berisik ya lo."

Sarah merengut kesal lalu duduk di kursi di depan Clarence. "Lo ya, baru juga balik udah ngeselin aja. Kangen-kangenan dulu kek."

"Iya gue tau lo kangen gue."

Sarah memutar matanya sementara Clarence terkekeh. "Jadi bokap lo berhasil maksa lo pulang?"

Clarence menyesap americanonya. "Lo liat sendiri kan gue lagi duduk di depan lo."

"Masih aja ya juteknya. Heran gue, jutek kok di pelihara."

Clarence tidak menanggapi.

"Cepet abisin kopi lo abis itu kita jalan-jalan. Gue lagi males ngopi," Sarah mengeluarkan sesuatu dari tasnya kemudian melanjutkan. "Nih, buat lo."

Clarence menerima amplop undangan berwarna keemasan yang disodorkan Sarah. Melirik temannya itu, Clarence menaruh cangkirnya kemudian membuka amplop itu.

Hal selanjutnya yang dilakukan Clarence benar-benar di luar kendalinya. "Sialan! Mau kawin lo?" Clarence membulatkan matanya kaget, setengah memekik.

Sarah terkikik geli. "Nikah woy, kawin sih bisa kapan aja."

"Eh, sumpah. Kok bisa sih? Lo kok gak cerita-cerita ke gue kalo lagi in relationship sama orang?"

"Gue gak pernah in relationship sama calon laki gue. Gue dijodohin awalnya. Terus kita pdkt ala anak abg gitu dua bulanan, terus dia ngelamar gue deh."

"Arranged marriage? Seriously?"

Sarah mengabaikan perkataan Clarence dan berkata, "Besok baru mau tunangan resmi, itu undangannya. Kalo nikahan lo gak pake undangan lah ya."

Clarence tahu Sarah hanya bercanda jadi dia memutar matanya sambil tersenyum geli.

Sarah kemudian berkata. "Eh, entar lo jadi bridesmaid ya?"

Clarence mengangguk. "Sipp," katanya lalu membaca lagi undangan itu. "Gavin Kamadeva Pratja? Isn't he the one that you've told me lately? That jerk?"

"Yup, bener banget."

Clarence menyeruput isi cangkirnya sampai habis kemudian mendecak. "Lo lupa sama apa isi cerita lo dulu?"

Sarah memilih untuk tidak menanggapi. "Udah habis kan? Yuk jalan-jalan. Gue butuh menikmati masa bebas gue sebelum berubah tittle jadi Mrs. Pratja."

***

"Claire, kamu tadi pergi sama Sarah?"

Clarence menatap Mamanya yang sedang mengiris potongan daging di piringnya. "Iya, kenapa Ma?"

Giana menatap putrinya sambil tersenyum. "Kamu sudah tahu minggu depan Sarah bertunangan sama anak sulung keluarga Pratja?"

Clarence mengangguk. "Ya, tadi dia ngasi undangannya ke aku. Mama juga udah dapet undangan?"

Giana mengangguk lalu menelan makanannya. "Iya, tadi ada yang nganterin. Rumor kalau Sarah akan menikah dengan Gavin juga sudah tersebar sejak sebulan lalu."

"Oh ya?" Clarence menanggapi.

Giana tersenyum senang. "Gak nyangka ya. Rasanya baru kemarin Mama sama Riana, Mamanya Sarah, ngedaftarin kalian SD bareng. Sekarang Sarah udah mau nikah aja."

Clarence terkekeh. Ibunya dan Ibu Sarah adalah teman kuliah dulu. Itulah salah satu alasan mengapa dia dan Sarah bisa bersahabat.

Ayahnya berdehem membuat Ibu-Anak itu menoleh. "Terus kamu Claire, kapan ada kepikiran kesitu?"

Clarence merasakan perasaan tidak enak tentang arah pembicaraan ini nantinya.

Giana berhenti melengkungkan bibirnya. "Pa," katanya kemudian dengan nada rendah.

Clarence menaruh garpu dan pisaunya di meja, kemudian mengambil gelasnya dan meminum sisa air di gelas itu sampai habis.

"Aku udah selesai makan."

"Papa mau bicara serius Claire. Kamu bukan lagi anak kecil yang bisa ngambek terus main kabur gitu aja." Arman Millard menggosok pinggiran gelasnya. "Umur kamu sudah dua puluh empat. Sudah waktunya kamu berpikiran dewasa."

Clarence mendesah. "Jadi inti dari omongan Papa apa?"

Arman menatap istrinya yang menatapnya dingin kemudian berkata. "Papa mau kamu menikah sebelum umur dua puluh lima. Jadi, menurut Papa kamu harus mulai cari calon dari sekarang. Atau, Papa bisa carikan satu untuk kamu."

Clarence tertawa ironis. "Jadi Papa serius mau ngulangin kesalahan yang sama dua kali?"

Giana menatap Clarence. "Claire, jangan bahas-"

"Enggak Ma. Aku memang sudah dua puluh empat dan itu artinya kalian tidak perlu mengatur aku lagi seperti anak kecil."

Arman meneguk air dari gelasnya. "Kami cuma mau yang terbaik buat kamu. Kami tidak memaksa, Claire. Kamu boleh cari calon kamu sendiri kalau mau."

"Jika kami yang kamu maksud itu adalah kita berdua, Arman. Kamu harus tahu, aku tidak ada niatan menjodohkan anakku satu-satunya." Giana menekankan kata satu-satunya.

"Dia sudah dewasa Giana. Dan lagi, pilihan yang aku pikirkan sekarang adalah orang terbaik yang bisa kupikirkan untuk menyerahkan anakku." Arman menekan kata anak kali ini.

Giana menghembuskan nafasnya berat.

"Jadi Papa sudah punya nama untuk aku?" Clarence menatap Papanya tidak percaya.

"Ya."

Clarence mendengus jengah. "Dan siapa orang malang itu?"

"Landon Lucais Najandra."

If you like it, then please appreciate it😊

Deep AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang