Empat Puluh Enam

7.6K 415 8
                                    

Breathe - Lauv

"Kamu nunggu aku pulang?"

Clarence melirik Landon yang kini berdiri di depannya sambil tersenyum. "Enggak, aku lagi maraton film."

"Thanks, Clarence. Kamu masih bangun sampai jam dua belas buat nungguin aku."

Clarence mengerutkan keningnya. "Aku bukan lagi nungguin kamu Landon Najandra! Dan— what are you doing?!"

Landon memilih untuk diam dan mencari posisi ternyaman di sofa.

"Landon, paha aku bukan bantal. And for your information, itu ada bantal di dekat kaki kamu!"

Landon memejamkan matanya, kemudian tersenyum tanpa menjawab perkataan Clarence. Clarence memutar bola matanya. "Seharusnya tadi aku tidur saja."

Landon terkekeh kemudian membuka matanya. "Jadi kamu benar-benar menunggu aku kan? Tadi aku rencananya mau ke kamar kamu buat lihat kamu dulu. Sebelum aku tidur. Tapi, ternyata kamu belum tidur."

Clarence menaikkan alisnya. "You better not Landon! Itu menakutkan!"

"Apanya yang menakutkan?"

Clarence menunduk untuk melihat Landon di matanya. "Aku enggak mau ada orang aneh yang ngeliatin aku diam-diam pas aku tidur! Mulai sekarang aku akan mengunci pintu kamar aku!"

Landon menaikkan alisnya. "Kamu selama ini tidak megunci kamar kamu?"

Clarence memilih diam.

"Wah, seharusnya aku lebih sering menyelinap ke kamar kamu dengan gampang! Dan, Clarence, aku bukan sembarang orang aneh, aku suami kamu."

Clarence mendengus. "Kalau telinga kamu berfungsi dengan baik, Landon. Aku tadi bilang aku akan mengunci pintu aku mulai sekarang, jadi jangan pernah berpikir untuk mendekati kamar aku setelah jam dua belas malam!"

Landon mengangguk dengan asal sebagai jawaban. "By the way Clarence, aku ingin mengenal kamu lebih dekat."

Clarence mengarahkan telujuknya ke wajahnya lalu ke wajah Landon, mencoba untuk menggambarkan betapa dekatnya jarak mereka sekarang. "Apa segini belum cukup dekat?"

Landon mendengus. "Bukan dekat fisik, dekat dekat psikis."

Clarence menyerngit, "Dekat psikis? Bahasa dari mana itu Landon?"

"Skip this part, langsung aja, apa yang kamu suka Clarence? Selain novel erotis?"

Clarence melebarkan matanya. Tangannya memukul pelan dada Landon. "Apa yang kamu maksud dengan novel erotis Najandra?!"

Landon mengaduh sebentar sebelum berkata, "Aku ingat, kamu bilang kamu suka Fifty Shades of Grey dan lanjutannya. Itu novel erotis kan?"

Clarence memukul dada Landon dua kali, sekarang. "Aku baca dengan memperhatikan ceritanya! Bukan adegan erotisnya!"

Landon terkekeh sambil memegangi dadanya. "Oke, oke. Kalau gitu apa yang kamu suka?" tanyanya.

"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini. Dan, aku tidak punya alasan apapun untuk ngasi tau kamu apa yang aku suka dan apa yang aku enggak suka, kan?"

Landon merengut. "Aku hanya ingin kita mengenal satu sama lain lebih jauh, sayang. Bagaimana bisa aku membuat kamu bahagia dalam satu tahun, kalau aku tidak tau apa saja yang kamu suka dan kamu tidak suka."

"Aku tidak suka kamu panggil sayang," Clarence menjawab dengan cepat dan sedatar mungkin untuk menunjukkan ketidaksukaannya.

"Tapi aku suka, Sayang," kata Landon sambil tersenyum jahil.

Clarence menaikkan lututnya membuat kepala Landon terangkat. "Bangun gak kamu?! Aku mau tidur aja!"

"Dasar tukang ambekan!" jawab Landon kemudian menekan kepalanya membuat Clarence kembali duduk nyaman di sofa. "Sekarang serius, apa yang kamu suka?"

Clarence diam sebentar. "Pertanyaan kamu terlalu random Landon," katanya. "Aku tidak tahu harus jawab apa. But, aku suka warna kuning."

Landon tersenyum. "Kuning? Kamu orang pertama yang aku kenal yang suka warna kuning," katanya.

Clarence mengendikkan bahunya dan tidak menjawab. "Terus, apa lagi?" tanya Landon kemudian.

Landon melihat Clarence berpikir sebentar. "Aku suka baca novel, semua novel, bukan cuma yang erotis. Dan, daripada novel erotis, aku selalu suka plot romance yang sedih. Aku suka kisah cinta yang menyedihkan. Happy ending membosankan!"

Landon mengerutkan dahinya. "Yang sedih? Kamu suka karakter novel yang kamu baca sengasara ya?"

Clarence menggigit kuku jempolnya sebentar. "Well, menurut aku, pada dasarnya semua kisah cinta itu, baik di kehidupan nyata atau di novel, semuanya akan berakhir dengan sad ending. Karena, tidak ada pasangan yang abadi. Pada akhirnya, semua orang akan patah hati karena ditinggal orang yang mereka sayang. Entah karena mereka berpisah karena sudah berhenti mencintai atau karena maut."

Maut.

Sedetik setelah menyelesaikan kalimatnya, Clarence langsung menggigit bibirnya. Ia kemudian menunduk untuk melihat reaksi Landon.

"I'm sorry Landon, aku tidak bermaksud—"

"It's okay, kamu benar. Setiap pasangan di dunia ini pasti akan berpisah," katanya muram.

Clarence mendesah. "Ayo ganti topik, tanya aku yan lain," katanya.

Landon mengangguk. "Hm, kamu suka kuning, kamu suka baca novel. Terus, apalagi Clarence Najandra?"

"Landon."

Landon melebarkan matanya. Ada jeda beberapa saat sebelum kata-kata berhasil keluar dari mulutnya. "Pardon me?"

"London, aku suka tinggal di London."

"Aku pikir tadi aku salah dengar, Clarence," kata Landon setengah kecewa dengan telinganya yang tidak becus mendengar.

"Ya, kamu salah dengar, Landon," kata Clarence sambil menatap mata Landon berusaha meyakinkan pria itu. Dengan semua yang ia bisa, Clarence menyembunyikan detak jantungnya yang tentu saja tidak mungkin.

Ketika Landon hanya menatapnya seolah sedang mencari kebenaran, Clarence akhirnya berkata, "Landon, sepertinya ini sudah sangat malam, sebaiknya kita berdua tidur sekarang."

Deep AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang