Tujuh Puluh

9.3K 465 6
                                    

Midnight Train — Sam Smith

Clarence begitu lelah saat di pesawat dan lebih lelah lagi saat ia sampai di Indonesia. Lelah secara fisik dan emosi membuat Clarence lupa memikirkan tujuannya setelah sampai di Indonesia.

Ketika perempuan itu menunggu bagasinya Clarence baru memikirkannya. Ia tidak mau dan tidak etis baginya kalau kembali ke rumah Landon. Dan lebih tidak masuk akal lagi jika dia pulang ke rumah orang tuanya. Mamanya dan lebih lagi papanya pasti akan freak out dan mengintrogasinya sepanjang malam.

Clarence yang sedari turun dari pesawat masih mengenakan kacamata hitam menggeret kopernya untuk mencari taksi ketika seseorang menghampirinya dan menarik kopernya.

Clarence hampir berteriak kalau ia tidak segera menyadari bahwa orang itu adalah Aidan.

"You owe me a story, Claire."

Clarence menatap Aidan datar dan kosong. Ya, dia berhutang untuk menceritakan kisah cinta Landon dengan dia sebagai orang ketiga ke Aidan.

"Bagaimana kamu bisa tahu aku di sini?" tanya Claire sambil menatap Aidan dari balik kacamata hitamnya.

Aidan mendesah kemudian mengambil tangan Clarence, menggandengnya untuk menuntunnya berjalan menuju mobil miliknya.

"Aku menunggu jawaban," gumam Clarence sembari mengikuti Aidan yang menariknya.

Aidan tetap diam. Genggamannya di tangan Clarence semakin mengeras. Clarence ingin mengomentari namun ia terlalu lelah.

Aidan membukakan Clarence pintu mobilnya dan memasukkan koper Clarence ke bagasi setelah Clarence duduk dengan nyaman di mobilnya.

Aidan masuk ke dalam mobil beberapa saat kemudian. Clarence menoleh ke arahnya. Menatap Aidan dari balik kacamatanya yang belum dibuka.

Aidan mendengus kemudian melepas kacamata Clarence. Clarence melebarkan matanya namun tidak menolak. Mata sembab dan sedikit merah adalah apa yang dilihat Aidan. Sekali lagi pria itu mendengus.

"Seorang bajingan bodoh menelpon aku dan mengatakan untuk menjemput istrinya di bandara."

Clarence menatap Aidan lama. Perasaan aneh antara harapan, senang, dan sedih Clarence rasakan saat ini.

"Dia bukan seorang bajingan, Aidan," kata Claire lemah sambil mengalihkan pandangannya dari Aidan menuju kaca depan mobil itu.

Aidan menggeleng sambil mulai menjalankan mobilnya. "Dia pantas disebut begitu karena membiarkan kamu kembali sendiri ke Indonesia setelah menghancurkan kamu."

Claire menarik nafasnya dalam.

"Dia sama hancurnya dengan aku," bisiknya tak yakin.

Aidan menoleh.

"Apa?"

Clarence menggeleng.

Aidan mendesah kemudian memilih diam dan fokus ke jalan.

"Kita akan kemana?" tanya Clarence menghapus keheningan.

Aidan menoleh, lagi.

"Kamu mau ke mana?" jawabnya balas bertanya.

Clarence menggeleng. Ia kemudian menghembuskan nafasnya dengan berat, lalu berkata, "Aku tidak tahu harus ke mana. Bahkan kalau kamu gak jemput aku mungkin aku akan ke hotel menggunakan taksi."

Aidan merengut. "Kamu punya rumah di sini. Untuk apa nginap di hotel?"

"Itu rumah Landon. Rumahnya yang mungkin nanti akan dia tempati dengan Ava. Satu-satunya orang yang dia cint—" Claire membiarkan kalimatnya menggantung.

Bukan satu-satunya, dia juga mencintai kamu, Claire.

Sebuah suara di pikirannya tiba-tiba berkata seperti itu. Clarence menelan ludahnya dengan susah. Cepat-cepat dia menghapus pemikirannya. Terlebih lagi ketika Aidan tiba-tiba menepi dan menghentikan mobilnya.

"Maksud kamu? Aku pikir mantannya sudah meninggal. You told me."

Clarence menarik nafasnya. Dia sedang sangat tidak mood untuk bercerita sekarang. Tapi, bagaimanapun, dia berhutang cerita dengan Aidan. Jadi, Clarence sekali lagi menarik nafasnya dalam-dalam dan mulai bercerita.

Sesekali, Clarence terdiam dan merasakan tenggorokannya tercekat ketika menceritakan setiap detail yang terjadi di London kemarin.

Aidan hanya mendengarkan tanpa berkomentar. Meskipun, wajahnya terlihat datar dan kaku.

Ketika Clarence mebyelesaikan ceritanya, Aidan menatapnya lama dengan tatapan yang tidak bisa Clarence artikan. Pria itu menoleh ke arah depan kemudian menggenggam stir kemudi dengan erat seolah ingin menghancurkannya menjadi debu.

"Dia bilang dia mencintai kamu?" tanya Aidan.

Clarence mengangguk.

"Dan dia membiarkan kamu pergi?"

Clarence diam. Aidan tahu persis jawabannya. Dia yang sekarang berada di sini di sebelah Aidan, bukannya di London bersama Landon adalah jawaban dari pertanyaan itu.

Aidan mengangguk kemudian menjalankan mobilnya lagi. Kali ini lebih cepat daripada sebelumnya. Bahkan ia mengebut.

"Landon harus tahu apa artinya mencintai seseorang. Kita harus kasih dia pelajaran," kata Aidan.

Clarence sudah terlalu lelah untuk menyahut. Jadi, dia memutuskan untuk diam saja dan pasrah dengan tujuan kemana Aidan akan membawanya.

Clarence tidak tahu berapa jauh dan berapa lama ia berada di dalam mobil itu sampai Aidan menghentikan mobilnya di pelataran rumah yang ia kenali.

"Rumah Sarah?" tanya Clarence setelah turun dari mobil.

Aidan mengangguk.

"Aku sudah menghubungi Sarah tepat setelah Landon menelpon aku untuk menjemput kamu di bandara. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres dan kamu pasti sedang sedih. Jadi, Sarah setuju akan membawa kamu pergi dari semua ini paling lambat besok."

Clarence menatap Aidan bingung. Tak berapa lama, Sarah keluar dari rumahnya dan langsung memeluk Clarence.

"Kenapa lo gak pernah cerita kalo ada masalah sama Landon?"

Clarence merasakan pandangannya mengabur karena air mata di pelupuknya.

"Lo harus cerita semuanya malam ini. Dan besok, kita langsung kabur."

Deep AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang