Dua Puluh Lima

8.4K 551 2
                                    

Landon sejak tadi duduk sambil membaca koran hari ini di ruang tamu rumahnya. Ariya sempat bertanya, apa dia duduk di sana karena sedang menunggu Clarence, yang langsung disanggah Landon.

Dia bukannya menunggu Clarence, tapi dia ingin menjelaskan soal ciuman kemarin. Bahwa, itu semua karena pengaruh suasana saja, tanpa ada niatan lain. Dan Clarence tidak seharusnya menghindarinya.

Landon berdiri saat melihat sebuah mobil masuk ke pekarangan rumahnya. Itu bukan mobil Clarence, dia tahu. Jadi, Landon memutuskan untuk mendekat ke jendela untuk melihat siapa yang datang.

Iris Landon kemudian menangkap siluet tubuh seorang pria keluar dari kursi pengemudi sambil membentangkan jaketnya di atas kepala. Pria itu kemudian beralih untuk membuka pintu penumpang di sampingnya.

Dan keluarlah Clarence, yang kini berjalan cepat dengan pria itu yang memayungi dia dengan jaketnya.

Landon memeperhatikan mereka berbicara beberapa saat, setelah pria itu mengeluarkan belanjaan Clarence. Sesuatu di dalam dirinya tiba-tiba merasa ingin mendorongnya keluar dan menarik Clarence menjauh dari pria itu, setelah dia sadar bahwa pria itu adalah pria yang sama, dengan pria yang makan siang berdua dengan Clarence tempo hari.

Pria itu masuk kembali ke mobilnya dan Landon juga masuk ke ruang tengah. Dia melihat Ariya yang sedang mengelap perabotan. Wanita itu seharusnya sudah pulang daritadi, tapi karena hujan, dia terpaksa menunggu di rumah Landon.

"Ari tolong bukakan pintunya untuk Clarence.."

Ariya menoleh kemudian berjalan ke ruang tamu dengan bingung. Kalau Nyonya Clarence-nya sudah pulang, kenapa bukan Tuan Muda saja yang bukakan pintunya langsung?

Clarence mengetuk pintu tepat ketika Ariya mencapai pintu. Dia kemudian membukakan pintunya untuk Clarence dan mengambil alih kantung belanjaan yang dibawa Clarence.

"Thanks Ari. Belum pulang?" tanya Clarence.

Ariya tersenyum ramah, "Masih hujan Nyonya. Mas Arko mau jemput saya, tapi masih di jalan, katanya macet."

Clarence mengangguk, kemudian bertanya lagi. "Landon?"

"Ada, Tuan Muda di ruang tengah."

Clarence kemudian mengangguk kikuk. Dia belum siap untuk bertemu Landon setelah apa yang terjadi kemarin. Clarence segera menepis bayangan dia dan Landon yang berciuman di perpustakaan.

Tidak ada yang perlu kamu takutkan Clarence!

Perempuan itu kemudian berjalan di belakang Ariya yang melenggang santai ke ruang tengah.

Landon sedang berdiri di tengah-tengah ruangan, menatapnya tajam. Clarence diam, balas menatap Landon. Sementara, Ariya berdehem dan melenggang ke dapur untuk menaruh belanjaan tadi.

"Kamu kemana aja?" Landon akhirnya membuka suara.

"Aku belanja. Dan aku ingat udah kasi tau Ari buat nyampein ke kamu."

"Dan aku masih ingat betul Ari bilang kamu pergi sendirian," kata Landon yang Clarence tahu jelas sedang membicarakan hal apa.

"Iya, aku memang pergi sendirian."

"Dan pulangnya berduaan?"

Clarence menghembuskan nafasnya. Dia terlalu malas dan lelah dan kesal untuk berdebat dengan Landon sekarang.

"Listen Landon. Di sini ada Ari jadi aku gak mau kita kelahi di depan dia dan menjadi masalah nantinya. Dan satu lagi, itu bukan urusan kamu apa aku pulang sendiri atau berdua."

Landon mengerutkan dahinya. "Bagaimana kalau-"

Clarence buru-buru memotong. "No! Aku jamin gak ada yang lihat. Di luar hujan deras, mobil aku mogok. So, i called him to pick me up. Itu aja."

Landon menahan nafasnya. Dia kemudian melangkah ke arah istrinya. Clarence memantapkan hatinya untuk tidak bergerak mundur, karena bila dia melakukan itu, dia akan terlihat terintimidasi, dan kalah. Clarence benci itu.

"Kenapa menelpon dia, dan bukan aku?"

Clarence mengendikkan bahunya, "Yah, kamu masih sakit, dan aku gak mau merepotkan kamu."

Landon menaikkan alisnya dan merasa emosinya mulai terpancing tanpa alasan yang jelas.

"Jadi, menurut kamu, lebih baik untuk merepotkan orang lain daripada suami kamu?"

Clarence menggigit bibirnya. "Cukup," katanya sambil mangacungkan telunjuknya ke arah Landon. "Jangan bahkan mulai, Landon!"

Landon menaikkan nada bicaranya. "Mulai apa Clarence?!"

"Semuanya!" Clarence balas membentak. "Kamu selalu seenaknya! Sedetik kamu menjadi menyebalkan, sedetik kemudian jadi menyenangkan, sedetik kemudian kamu mencium aku, dan sekarang kamu bahkan mengungkit-ungkit kata suami?!"

Landon mengatupkan mulutnya hingga membuat garis rahangnya tercetak jelas dan kokoh.

"Ciuman kemarin itu sebuah kesalahan Clarence. Saya minta maaf. Saya hanya terbawa suasana, itu saja!"

Giliran Clarence yang mematung. Semua emosinya tiba-tiba meledak membuat otaknya berhenti berkerja. Ciuman yang hanya terbawa suasana itu, Clarence takut, dia menganggap itu sesuatu yang lebih.

Landon yang melihat Clarence tidak bisa berkata-kata kemudian membuka suara lagi. "Semenjak di rumah sakit kemarin, saya merasa hubungan kita jadi lebih baik, ada kemajuan. Setidaknya, kita bisa berteman. Dan, karena satu ciuman, semuanya jadi mundur lagi. Kamu menghindari saya."

Clarence berkata dengan lemah, "Hubungan ini tidak seharusnya berjalan maju, Landon. Karena semakin jauh kita maju, akan semakin susah untuk kembali nantinya."

Deep AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang