Dua Puluh Enam

8.2K 495 0
                                    

"...semakin susah untuk kembali nantinya."

Kata-kata Clarence kembali terulang di kepala Landon. Dia kemudian teringat bahwa mereka akan berpisah dalam waktu dua tahun.

Landon belum memikirkan ini tapi dia sekarang sadar. Apa yang akan terjadi setelah dua tahun?

Alasannya mengiyakan perjodohan ini dulu, selain dia tidak mau membangkang, juga karena Landon berpikir bahwa dia mungkin tidak akan menikah jika bukan karena dijodohkan. Lalu, nanti kalau dia bercerai dengan Clarence?

Landon mengacak rambutnya kesal. Seharusnya, pernikahan ini membuat semuanya menjadi mudah. Tapi, kenapa semuanya semakin ribet?

***

Clarence menatap wajahnya yang baru saja dia bersihkan, di kaca. Clarence tiba-tiba merasa penasaran, bagaimana raut wajahnya ketika dia menghadapi Landon?

Wanita itu kemudian merenungkan perkataan Landon tadi. Bahwa mereka setidaknya bisa berteman. Yah, mereka bisa berteman, tapi Clarence khawatir sesuatu yang buruk terjadi. Seperti ciuman kemarin, itu hal buruk bagi Clarence dan jantungnya.

Clarence berusaha mencari pengalih perhatian dari masalahnya ketika matanya tidak sengaja menatap novel Aidan yang kemarin dia beli di atas meja lampu di samping tempat tidurnya. Iseng-iseng perempuan itu kemudian menaiki tempat tidurnya dan mulai membaca novel itu. Yah, siapa tahu itu bisa membuatnya melupakan semua masalahnya sementara.

Yang dia tahu selanjutnya adalah bahwa dirinya sudah tenggelam di buku itu selama dua jam dan sudah hampir setengah pack tisunya habis untuk mengelap air mata dan lendir yang keluar dari hidungnya. Novel itu sangat sialan sedih.

Clarence langsung mengambil handphonenya begitu dia menamatkan novel itu, untuk mengirim pesan ke Aidan.

Claire : I hate you!

Clarence menunggu balasan Aidan untuk beberapa saat sampai benda yang ada di genggamannya itu berdering menandakan ada telpon yang masuk.

"Kamu kenapa lagi?" Adalah apa yang Aidan katakan pertama kali setelah Clarence menjawab panggilannya.

Clarence mengatur nasa suaranya agar tidak terdengar jelas seperti habis menangis. "Kamu membunuh Adriel!"

Aidan di seberang sana diam sejenak kemudian tertawa keras sekali. Clarence mengerucutkan bibirnya kesal. Seharusnya dia tadi tidak membaca novel itu, karena itu hanya membuatnya semakin sedih dan terpuruk.

Aidan sudah menyelesaikan tawanya ketika dia berkata, "So, kamu benar-benar membaca novelnya?"

Clarence mengangguk kemudian sadar bahwa Aidan tidak bisa melihatnya. Dia kemudian menjawab, "Ya."

"Kamu suka?"

"No! Aku benci endingnya!"

Aidan tertawa lagi. "Kamu bukan orang pertama yang bilang gitu."

"Why did you kill him?"

Aidan tidak mejawab. Suaranya terdengar samar ketika berbicara mengenai hal entah apa. Clarence kemudian paham bahwa Aidan sedang berbicara dengan orang lain.

"Halo, Claire? Kamu masih di sana?"

"Iya."

Dengusan Aidan terdengar diikuti dengan serentetan kalimat yang keluar dari mulut Aidan di seberang sana.

"Maaf, aku ada urusan mendadak. Kalau mau bahas novelnya kita bisa ketemuan atau ngobrol besok ya?"

Clarence menghela nafas. Apa kata Landon kalau pria itu tahu Aidan mengajaknya untuk ketemuan besok? Clarence menggelengkan kepalanya. Landon tidak akan perduli.

"Boleh."

"Oke, besok jam sepuluh kita ketemuan? Coffee or ice cream."

"Ice cream."

"Dijemput ya? Mobilnya baru jadi besok kan?"

"Iya, sekalian anter ambil mobil ya?"

"Siap bos. Tapi, Landon gimana?"

Clarence diam. "Tenang aja," jawabnya seadanya. Ya, dia harus tenang.  Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sambungan telepon mereka kemudian terputus setelah Aidan mengucapkan salam penutup. Sekarang Clarence berpikir bagaimana caranya dia pergi dan pulang dengan tentram tanpa omelan Landon. Dan, tentu saja satu-satunya cara adalah dia harus meminta izin suaminya itu.

Clarence bergedik ngeri. Seharusnya dia tidak pernah setuju untuk dijodohkan. Bukan, seharusnya dia tidak pernah balik ke Indonesia.

Deep AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang