Tiga Puluh Sembilan

8K 537 4
                                    

"Kalian tidak ada niat mau honeymoon kemana gitu?" tanya Giana saat Clarence sedang meminum air dari gelasnya. Sontak, Clarence langsung terbatuk karena tersedak oleh air yang diminumnya.

Landon, yang duduk di sebelahnya, langsung menepuk pelan punggung Clarence sementara Clarence menyeka mulutnya dengan serbet.

"Reaksi kamu berlebihan Claire," kata Giana lagi sambil memutar matanya. Clarence sepertinya menurunkan kebiasaan memutar matanya dari Mamanya.

"Kalian sudah menikah selama sebulan. Iya kan?" tanya Giana lagi.

Clarence yang barus aja menyelesaikan batuknya kemudian membukatkan matanya. Apa iya mereka sudah sebulan? Clarence tidak menyadari hal itu.

"Selasa depan, kami sebulan Ma," kata Landon. Clarence menoleh cepat ke suaminya itu. Astaga pria satu ini benar-benar susah ditebak! Masa iya Landon menghitung hari jadi satu bulan mereka?

"Astaga Claire, suami kamu romantis sekali. Papa kamu aja, tidak pernah ingat hari jadi kami loh," kata Giana dengan senyum jahil.

Arman yang sedari tadi diam tiba-tuba berdehem. "Aku ingat, Gi," katanya sambil menatap Giana tajam.

"Ya, Arman. Kamu ingat, setelah diingatkan sekretaris kamu."

Clarence memutar matanya melihat orang tuanya berdebat sementara Landon tertawa kecil. "Orang tua kamu, akrab sekali ya?" bisiknya di telinga Clarence.

Clarence menaikkan alisnya. "Suami-istri kan memang seharusnya akrab," katanya balas berbisik kepada Landon.

"Kita juga seharusnya akrab ya?"

Clarence mengerutkan keningnya. "Pasangan suami-istri yang sesungguhnya Landon."

Landon menatap Clarence tajam. Dan sebelum dia sempat mengatakan sesuatu Clarence segera berkata, "Jangan mendebat aku. Mood aku sedang bagus. Dan aku tidak mau merusak itu."

Landon menghembuskan nafasnya kemudian meraih gelasnya yang ada di meja makan dan meminum airnya sampai habis.

"Malam ini kalian nginep di sini ya?" tanya Giana tiba-tiba.

Clarence dengan cepat menggeleng. "No Ma, besok Landon harus kerja."

"Terus kenapa?"

"Kalau kita menginap, bagaimana bisa Landon kerja besok ketika baju-bajunya dan semua berkasnya ada di rumah kami Ma?"

Giana menaikkan alisnya. "Asal kamu tahu Claire, di luar sedang hujan deras. Dan berbahaya jika kamu pulang sekarang. Terlebih lagi ini sudah gelap. Iya kan Pa?"

Arman mengangguk setuju. "Benar kata Mama kamu."

"Ma, really, Landon gak akan nyetir ugal-ugalan. Dia orang terbaik yang pernah nyetirin aku," kata Clarence.

Landon langsung menoleh ke Clarence dan menghentikan perdebatan dua orang itu. "Claire, kita bisa menginap malam ini dan pulang pagi-pagi besok."

Giana tersenyum penuh kemenangan sementara Clarence mendengus. Dia kalah telak.

"Ngomong-ngomong soal kerja, kamu jadi mau kerja di kantor Papa?" Arman tiba-tiba membuka suaranya.

Clarence diam sejenak. Sementara Landon menghentikan gerakannya karena terkejut untuk alasan yang tidak jelas. Diam-diam dia sangat tidak setuju jika Clarence bekerja.

"Aku, belum pengen," kata Clarence dan Landon mendapatkan kembali fungsi geraknya.

Arman mengangguk. "Anytime you ready Princess."

***

"Aku tidak tahu kamu mau kerja," kata Landon ketika mereka berdua hanya duduk diam dengan canggung di sofa nyaman yang ada di kamar Clarence.

Clarence menoleh ke arah Landon sambil menyesap minuman coklat di mugnya. Karena tidak tahu mau menjawab apa Clarence hanya mengedipkan matanya beberapa kali.

"Perasaan, aku sudah kasi kamu kartu aku kan?" tanya Landon dan sukses membuat Clarence membulatkan matanya.

"Ini bukan soal uang Landon!" kata Clarence hampir berteriak. "Aku bahkan gak pernah pake kartu kamu!"

Landon terkejut dengan respon Clarence. "Maksud aku bukan itu."

Clarence mendengus kemudian meminum coklatnya lagi. "Aku dulu waktu di London berusaha ngeles mau kerja dulu supaya enggak disuruh pulang ke Indonesia. Tapi Papa dengan keras kepalanya maksa aku kerja di perusahaannya."

Landon mengangguk. Kemudian memberanikan dirinya bertanya. "Kenapa kamu anti sekali dengan Indonesia?"

Clarence yang sedang menyesap coklatnya langsung mematung, meninggalkan mug yang menempel di bibirnya. Sebenarnya Clarence sudah beberapa waktu ini sejak malam dramatis mereka, mencari waktu untuk menceritakan Landon tentang masa lalunya. Dan mungkin inilah waktunya.
Clarence menaruh mugnya di meja kecil samping sofa membuat Landon menatapnya dengan terkejut. Mungkin tidak mengira Clarence akan menceritakan masa lalunya.

"Aku sudah pernah bilang kan Landon, aku punya Kakak perempuan?" kata Clarence sambil memainkan jari-jarinya.

Landon mengangguk sebagai jawaban. Saat ini rasanya dia tidak ingin mengatakan apapun. Clarence saat ini hanya butuh didengarkan. Dan Landon tidak ingin mengganggunya.

"Well, Kakak aku adalah pacarnya Aidan, eh, mantan pacarnya. Mereka teman dari SD. Aidan dan Charlene mulai pacaran sejak tahun terakhir mereka di SMP. Saat itu aku masih kelas satu SMP. Dan kita bertiga selalu kemana-mana samaan."

Landon menatap Clarence lama. Jadi alasannya menjadi jelas. Kenapa Clarence bisa akrab sekali dengan si Aidan-Aidan itu. Dan untungnya, setidaknya, Clarence tidak terlibat perasaan khusus dengan Aidan. Tapi kelegaan Landon hilang dalam sekejap ketika Clarence melanjutkan ceritanya.

"To be honest, Aidan adalah cinta pertama aku," kata Clarence sambil terkekeh membuat Landon mengencangkan rahangnya. Aidan sialan!

Landon menatap Clarence sambil menyipitkan matanya. Niatnya untuk hanya mendengarkan tiba-tiba sirna. "Cinta pertama kamu adalah pacar Kakak kamu sendiri?"

Clarence tersenyum kecut. "Well, ironis ya?"

Landon memilih untuk diam kembali. Kalau dia membuka suaranya lagi, Landon tidak yakin dia bisa menahan hasratnya untuk memaki Aidan.

"Aidan itu selalu sama aku kalau aku kemana-mana. Tapi aku cuma sekedar jatuh cinta. Aku sepenuhnya setuju dia sama Charlene," kata Clarence sambil tersenyum paksa. "Saat akhirnya mereka berdua sudah masuk ke umur dua puluhan, Charly dan Aidan mulai berpikir untuk hubungan yang lebih serius."

"Papa tidak setuju, karena Aidan saat itu belum sukses. Dia bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, bukan kriteria Papa," Clarence mengerutkan keningnya seolah kesakitan. "Charlene saat itu sangat marah dan kecewa. Dia kemudian pergi dari rumah, dan.."

Clarence menghentikan perkataannya kemudian bernafas dengan berat. Dia memejamkan matanya seolah ketakutan. "Charly kecelakaan, dia pergi Landon. Dia pergi.."

Refleks Landon tiba-tiba bekerja dan dia langsung mendekat ke arah Clarence. Memeluk istrinya dalam satu gerakan. Landon memindahkan badan Clarence ke pangkuannya secara menyamping kemudian memeluk Clarence erat sekali, seolah-olah Clarence adalah seorang anak kecil rapuh yang sedang terluka parah.

"Aku benci Papa aku Landon. Seandainya dia mengizinkan hubungan Charly dan Aidan. Pasti Charly ada di sini sekarang," kata Clarence lemah.

Landon tidak mengatakan apapun tapi dia terus mendekap Clarence sambil menciumi puncak kepala wanitanya.

"Setelah Charly dimakamkan Aidan tidak pernah muncul di depan aku. Kemudian seminggu setelah pemakaman Kakak aku, aku langsung pindah ke London setelah mengancam Papa dan Mama kalau aku akan kabur seperti Charlene."

Landon merasakan dadanya basah oleh air mata Clarence malam itu. Itu pertama kalinya dia melihat Clarence serapuh itu. Dan entah mengapa, Landon bersumpah di dalam hatinya kalau dia akan membuat Clarence bahagia dan melupakan kenangan buruk di masa lalunya.

The longest part I've ever wrote! Hope y'all like it and please leave a comment and tap the star!

Deep AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang