Empat Belas

9K 578 2
                                    

Clarence memarkirkan mobilnya di parkiran salah satu Mall. Dia merasa bosan harus di rumah terus seharian, jadilah dia memutuskan untuk me-time seharian ini.

Tempat yang pertama kali Clarence sambangi adalah toko buku. Aidan yang menjadi penulis membuat Clarence penasaran dengan karya pria itu.

Dia pake nama pena gitu Claire, dan Gavin gak mau kasih tau gue. Katanya itu rahasia.

Clarence mendengus mengingat kata-kata Sarah di telpon kemarin. Bagaimana caranya dia bisa menemukan karya Aidan di antara semua buku ini?!

Clarence pada akhirnya mengelilingi toko buku itu tanpa tujuan sampai akhirnya ada satu nama yang menarik perhatiannya.

"Charly Djuanir..." Clarence bergumam.

Aidan dan sifat melankonlisnya benar-benar mudah ditebak. Dan membaca nama itu membuat Clarence merasakan kesedihan yang lama ia simpan kembali.

"Ini kebetulan? Atau apa, Clarence?"

Clarence terlonjak kaget dan memutar tubuhnya ketika suara berat seorang pria menginterupsinya dari belakang.

"Bang Aidan!" Clarence menatap Aidan dengan kedua mata bulatnya yang terbuka sempurna, kemudian berkata, "Lagi ngapain di sini?"

Aidan yang berdiri di depannya tersenyum. "Aku lagi survei buku aku, dan kebetulan sekali ada kamu."

Clarence melirik novel romansa yang ada di tangannya. Dia menatap Aidan dan novel itu bergantian.

"So, this is yours, right?"

"Apa pen-name saya terlalu jelas?"

Clarence mengatupkan bibirnya sebentar untuk memikirkan jawaban yang pas.

"Charly adalah Charlene, dan Djuanir adalah Aidan Djuanir. That's too obvious bagi yang tahu masa lalu kita."

Aidan tersenyum tulus membuat Clarence merasa bersalah entah untuk apa. "Kita, ya? Jadi keinget dulu-dulu pas kita masih lengkap."

"Iyap, ketika aku jadi anak bawang sekaligus orang ketiga."

Aidan tertawa kemudian berkata, "By the way, kamu sengaja atau tidak sengaja menemukan buku itu?"

Clarence mengendikkan bahunya. Tadi dia sengaja ke sini untuk mencari buku Aidan. Tapi, dia tidak sengaja ketika menemukan buku itu.

"Ketidaksengajaan yang sengaja?"

Aidan mengerutkan keningnya kemudian terkekeh. "Kamu masih saja absurd, Clarence."

"Dan, kamu masih saja menjadi tukang olok, Bang."

"Jangan pakai 'Bang' dong."

Clarence menaikkan alisnya kemudian berkata, "Itukan embel-embel penghormatan untuk yang lebih tua. Dulu, siapa yang nyuruh aku manggil pake Abang?"

"Charlene. Dia yang menyuruh kamu."

Clarence diam seketika. Sedetik yang lalu dia merasa nyaman berbicara dengan Aidan seperti dulu. Tetapi, nama Kakaknya membuat Clarence tersadar, bahwa semuanya sudah tidak sama lagi.

Aidan yang menyadari perubahan suasana di antara mereka kemudian berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Em, bagaimana kalau kita makan siang bareng? Saya yang traktir."

Clarence bergeming. Apa sebaiknya dia setuju atau tidak, adalah apa yang berputar di otaknya sekarang.

"Boleh, tapi setelah aku membayar buku ini."

Ya, aku harus berdamai dengan masa lalu.

Aidan terkekeh. "Kamu membeli itu karena tidak enak dengan penulisnya atau-"

Clarence memotong dengan cepat, "Aku mau lihat bagaimana melankonlisnya tulisan kamu, Bang."

"Don't use that word, kata Abang itu bikin awkward. Itu membuat aku merasa tua sekali, dan mengingatkan aku kepada dia."

Clarence menelan ludah. Ternyata, bukan hanya dia yang perlu berdamai dengan masa lalu.

***

Landon cukup kesal dengan seluruh anak buah kantornya hari ini. Setelah akhirnya mendapat tanda tangan kerja sama dari salah satu pengusaha berpengaruh di wilayahnya. Dimulailah ritual refreshing seperti ini.

Dia diseret oleh anak buahnya dan rekan sialannya yang memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran di Mall dekat kantor mereka.

"Woy, hape mulu lo."

Landon menolehkan pandangannya dari handphonenya, dan melihat ke arah Rafael, salah satu rekannya.

"Lagi ngabarin istri ya?" goda Rafael lagi.

"Kepo," jawab Landon tanpa ekspresi.

Seorang pelayan kemudian datang mengantarkan makanan yang mereka pesan tadi.

Landon mulai tergiur dengan risotto yang ada di piringnya saat handphone di genggamannya berdering membuat semuanya menatap dirinya. Ada telpon dari Nyonya Besar Vivianne Najandra.

"Bentar, angkat telpon dulu."

Pria itu kemudian berjalan keluar dari sana. Untungnya meja mereka dekat lumayan dekat dengan pintu.

"Halo Ma?"

"Landon, lagi dimana kamu?"

"Lagi makan siang. Kenapa?"

"Oh gitu," Vivianne yang di seberang sana memberi jeda sejenak kemudian melanjutkan, "Mama mau ngasi tau, minggu depan Mama sama Papa mau ngadain pesta untuk ngerayain  thirty-fifth anniversary pernikahan kami, kamu ingat kan?"

Landon melancarkan tangannya ke sela-sela rambutnya. Dia lupa tentang acara itu.

"Tuhkan, pasti kamu lupa."

"Sorry, Ma."

Vivianne menghembuskan nafasnya. "Yaudah, yang penting jangan sampai lupa ya, saturday night minggu depan. Kamu dan Clarence harus datang pertama!"

Giliran Landon yang mendengus, kemudian berkata, "Yes, Ma'am."

"Oh iya, satu lagi," kata Vivianne cepat. "Ingat ya, nanti ada dansa. So, better prepare yourself ."

Landon melirik ke sekitar. Apa tidak ada yang lebih buruk lagi?

Dan doanya terjawab. Sesuatu yang lebih buruk tampil di depan matanya. Di seberang dari tempatnya berdiri, Landon melihat Clarence sedang duduk manis bersama seorang pria di sebuah restoran Jepang.

"Halo, Landon?"

Landon menancapkan pandangannya ke satu titik, Clarence yang sedang tertawa lebar dengan pria sialan entah siapa itu.

"Ma, aku tutup."

Pria itu mematikan sambungan telponnya dan melangkah cepat menuju istrinya.

Deep AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang