Dilain Sisi.

50 2 0
                                    

Pagi itu, sengaja aku mampir ke rumah temanku.
Aku mau mengajaknya berangkat bareng.

Ku tekan-tekan bel rumah temanku, tapi tak ada jawaban dari dalam,
Aku coba teriaki namanya dengan kencang.
Mungkin saja ia tak mendengar bel rumahnya berbunyi.

"Nanda" teriaku keras, berulangkali hingga suaraku serak.

Ku telpon berkali-kali juga gak diangkat.

Saat hendak ku urungkan niat mengajaknya berangkat bareng, tiba-tiba pintu rumah temanku terbuka.

"Ada apa nak Kevin,?" tanya mamanya Nanda padaku.

"Mau ngajak berangkat bareng Tante" jawabku datar.

"Nandanya udah berangkat, baru aja lima menit yang lalu" tutur wanita setengah baya yang ada didepanku saat ini.

Kulirik jam di tangaku.
Jamku normal, gak sedang mati seperti saat kemarin membeli buku bersama Nanda.
Sehingga aku lupa waktu gara- gara jamku mati.

"Serius Tante, sepagi ini?" tanyaku heran.

"Iya, Nanda berangkat sambil marah-marah karena Tante hukum kemaren," jawab mama Nanda sambil menjelaskan panjang lebar.

Setelah itu aku pamit undur diri dari hadapan mamanya Nanda.
Dan entah perasaanku tak enak, agak sedikit khawatir.

Glek.
Kok mendadak aku teringat pesan kemarin yang Nanda kirim.
Dia mengancam akan menghajarku jika bertemu.

Ku turunkan standar motorku diparkiran.
Masih terlalu sepi karena ini masih pagi, sehingga parkiran nampak lengang.

Ku berjalan degan pelan sambil mengatur nyali.
Takutnya Nanda emang lepas kontrol membantaiku, gara-gara aku aduin jika ia remidial.

Ku edarkan pandanganku, menandai setiap siswi yang berlalu lalang di koridor.

Deg.

Aku menemukanya sedang menangis dipelukan sahabatnya itu.

Ada apa Nan,
Kenapa kamu menagis sepagi ini?

Ku balik kanan menuju arah yang berlawanan.
Tak enak jika aku tiba tiba membaur bersama mereka.
Jangankan membaur terlihat saja mungkin aku enggan.

Ku kembali menuju parkiran.
Setidaknya disini aku tidak akan ditemukan oleh mereka.

Nampaknya halaman sekolah mulai ramai.
Karena ini semakin siang.
Ku berjalan dengan santai yang dibuat-buat, takut mereka mengetahui jika aku baru saja melihat mereka berdrama haru di meja panjang depan kelas.

Jantungku berdegup kencang, peluhku mulai bercucuran membasahi dahiku.
Rasanya sesak dan panas berada di posisi pura pura ini.

Ku langkahkan kakiku masuk ke kelas.
Sedikit melirik ke arah Nanda.
Ia membenamkan wajahnya dengan beralaskan tanganya.
Agak sedikit canggung saat ini, tapi aku mencoba meledeknya agar terlihat normal.

"Woi tumben udah dateng, biasanya masih juga molor penuh iler." ledeku sekenanya.

Kevin POV.

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang