Sumber Inspirasi

34 3 0
                                    


Pagi ini aku sengaja senyam- senyum sedari-tadi.
Sedari rumah.
Entah.
Jagan kau pikir aku kesambet ya.

Pagi ini jadwal Bu Ida mengajar dikelasku.

Kau tahu kenapa aku senyam- senyum sedari tadi.
Aku sudah membuat PR yang diberikan oleh Bu Ida.

Ridho yang mendapat mandat untuk mengumpulkan PR kami.

Iya ini seperti antri sembako.
Buku ditumpuk dimeja Bu Ida, nanti baca satu-satu berdasarkan urutan buku yang ditumpuk itu.

Aku sih senang gak pake urutan absensi.
Jika pake mungkin aku minggu depan baru maju membacakan puisiku.
Secara aku berada di urutan ke- 20.

Kupindai buku yanv menumpuk dihadapan Bu Ida untuk menandai buku punyaku.

Yes, masuk 10 besar.

10 besar disini maksudku urutan buku yang menumpuk didepan sana.

Agak bosan sih harus menunggu sesuatu yang pasalnya aku ini sudah siap sedari tadi.

Kubuka sebuah komik untuk mengusir rasa bosanku.
Aku malas menyimak puisi-puisi yang lain.

Dan tiba-tiba.
Komik yang kubaca melayang keatas.

"Heh, sini balikin" pintaku.

"Sudah komiknya aku simpan dulu" sita Kevin tiba-tiba.

Dasar kupret.

Dan entah mengapa sekarang sudah hampir giliranku.
Begini cara Kevin menegurku.
Kenapa gak bilang langsung kalau sebentar lagi jatahku.

Bu Ida menyerukan namaku.
Aku segera maju plus dengan langakah yang kubuat-buat songong.

Setelah dapat ijin dari beliau akupun membaca puisiku dengan lantang dan nyaring.
Kira kira seperti ini puisiku.

Tak Seperti Biasa

Ku rasakan perih luka didada.
Sepertinya lukanya mengaga lebar.
Tapi ini tak berdarah.
Tapi snut-snut dihati.

Aku bukanya sedang patah hati.
Ini bukan juga tentang cinta.
Ini sebuah luka dihati
Yang sejak kemarin kau campakkan.

Biasanya kau selalu disini
Disisiku.
Tapi entah
Sejak kemarin kau menjauh.

Aku butuh bantuanmu.
Tapi kau tak lagi ada.

Disini aku terkatung-katung.
Terkatung di samudra galau.

Bagaimana tidak?
Harusnya kau tahu.

Kita seperti bertolak belakang.
Berdekatan tapi tak searah.

Apa kau sudah muak denganku?
Apa?
Apa?
Kenapa tak menjawab?

Aku butuh jawaban dari kalian
Iya kalian berdua
'Kevin dan Sisil'.

Duo kampet
Yang seharusnya membantuku
Membantu memilih diksi-diksi cantik.

Tapi entah
Meraka mencampakkan aku.
Disini
Sendiri
Disudut
Karang keterpurukan.

Kulirik dua temanku yang berdiam mematung di tempatnya.
Sepertinya mereka syok.

"Na, puisi bagus. Kau juga sekalin curhat ta?" tanya Bu Ida.

Aku hanya tersenyum kecut.
Enggan menjawab.

Bu Ida pun mempersilakan aku untuk duduk kembali.

Aku kembali duduk, sebelumnya aku ambil dulu komik si laci meja Kevin.

Jangan tanya kemana penghuninya.

Karena saat aku dipersilakan kembali duduk.
Saat itu juga tiba giliran Kevin membacakan puisinya.

Kulihat ia agak sedikit gugup.
Ada beberapa keringat yang muncul didahinya.
Keringatnya sebesar biji jagung.
Wajar juga ia gugup.
Mungkin karena tadi ia syok namanya tercantum di puisiku.

"Oi, puisimu bagus Nan, kau berguru pada siapa?" tanya Sisil kepo.

"Aku belajar pada diksi-diksi cantik nan dua insan yang kampret" jawabku.

Mendengar kata "dua insan yang kampret" Sisil hanya tersenyum kecut.

Aku tak begitu mengubris masalah ini.

Aku tau Sisil juga tak mengubrisnya.

Dan puisi pada pagi hari ini ditutup oleh puisi Sinta.
Yang entah tadi berada diurutan keberapa.

Berhubung jam pelajaran Bu Ida habis.
Dan sekarang jam kosong.
Aku memanfaatkan momen ini untuk belajar PKN.
Itung-itung mencicil untuk besok.
Semalam sih udah belajar tapi mungkin hafalanya tertinggal dipulau kapuk alias negri mimpi.



Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang