Fajar: 3

2.2K 400 45
                                    


Gerimis jatuh perlahan dari langit kota Bandung. Jam menunjukkan pukul dua siang namun dingin mulai menyelimuti. Dan hawa dingin Bandung kali ini terasa lebih menusuk bagi Fajar yang masih duduk memegangi nisan Bapak.

Perlahan ia mengusap nama beliau. Ada bekas air mata mulai mengering di wajahnya yang sendu.

"Balik Jar. Ujannya mulai deres." Aji menepuk pundak Fajar yang linglung. Ia mengangkat wajah, memandangi satu persatu sahabat yang ternyata masih setia menunggu dibelakangnya.

"Maafin Bapak ya abang - abang kalo pernah ada salah." Ucapnya pada Reki, Genta, Yogi dan Opik.

"Maafin Bapak Rik. Bapak nggak jadi traktir bakmi Mang Ujang."

Fajar gantian menatap Oik yang cepat cepat menunduk namun terlambat, Oik tak sempat menyembunyikan airmatanya yang lebih dulu menetes. Ucapan Fajar hanya dibalasnya dengan anggukan.

"Udah deras. Geura balik Jar." Fajar mengangguk lalu ikut melangkah mengikuti Opik. Selang beberapa langkah ia kembali menoleh kebelakang menatap makam Bapak.

Sesak kembali menekan dada, membuat pandangannya kabur karena air mata. Fajar memalingkan pandangan. Rasanya tak akan pernah ia tega membiarkan Bapak sendiri disini dibawah hujan.

"Bapak pasti dikasih tempat terbaik Jar. Insya Allah." Opik dengan matanya yang masih merah.

Iya benar, Bapak orang baik. Entah sudah berapa ratus anak - anak yang bisa ngaji di tangan Bapak. Berapa masjid yang pernah didakwahi Bapak. Beliau memang bukan ulama besar lulusan Madinah atau Mesir. Beliau hanya seorang tentara jebolan pesantren yang sejak kecil ditanamkan agama.

'Adek percaya Bapak husnul khotimah.'

Fajar membatin lalu mantap melangkah beriringan dengan Yogi.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sudah lima hari tanpa kehadiran Bapak. Rumahpun mulai sepi. Opik, Genta dan Yogi sudah kembali ke Jakarta dihari kedua. Reki menyusul keesokan harinya.

"Ikhlas Jar. Percaya ini pasti yang terbaik." Begitu kira kira pesan keempat 'abang ketemu gede' nya Fajar sebelum mereka pulang. Jujur dalam hati ia masih menolak percaya bahwa Bapak sudah pergi. Meninggalkan Fajar yang belum sempat mempersembahkan ijazah sarjananya, Teteh yang belum sempat memberi beliau cucu, dan Mamah yang sekarang harus sendiri dimasa tuanya. Meskipun ada dirinya dan Teteh mendampingi, tapi Fajar yakin Mamah kehilangan separuh jiwanya.

Yang terbaik buat Bapak. Kalimat ini pada akhirnya menghadirkan rasa ikhlas buat Fajar.

Sakit yang dirasakan Bapak pasti sudah dititik puncak, hingga Allah memutuskan Bapak harus istirahat dalam tidur yang lebih panjang.

Bukankah hanya masalah waktu sampai akhirnya kita juga diberi istirahat panjang? Perlahan rasa ikhlas mulai menerangi pikiran Fajar yang sempat keruh, begitupun Mamah. Beliau sudah mampu bercerita pada kerabat yang datang tentang bagaimana Bapak jatuh lalu koma. Tanpa terisak dan banjir air mata. Namun hal serupa sepertinya belum terjadi pada Teteh. Begitu Fajar memanggil gadis ayu berkerudung itu sejak kecil. Hingga hari ketujuh kepergian Bapak, Teteh masih mengurung diri di kamarnya.

"Si Teteh masi nggak mau bukain pintu." Fajar melihat raut sedih itu lagi di wajah Mamah.

"Dia teh belum makan dari kemarin Dek."

"Biar Adek yang coba panggil Mah. Mamah makan duluan aja." Fajar meninggalkan meja makan. Agak tergesa ia mendatangi kamar Teteh yang ada di lantai dua.

"Makan Teh. Ditungguin Mamah." Ucap Fajar setelah mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban sama sekali. Fajar seolah berbicara pada pintu di depannya.

"Ditungguin Mamah Teh." Sebut Fajar lagi. Masih tidak ada jawaban. Fajar menghela nafas. Ia kemudian duduk bersandar pada pintu kamar Teteh.

"Teteh mungkin nggak tau. Setiap hari Mamah selalu nanyain apa Teteh udah keluar kamar hari ini? Mamah berkali - kali bohong sama orang orang yang nanyain kenapa Teteh nggak kelihatan selama prosesi pemakaman Bapak. Banyak Teh yang datang. Teteh bisa bayangin berapa kali Mamah harus bohong. Bahkan Uwak Dadang sengaja pulang dari Johor. Mohon mohon biar Bapak jangan dimakamkan dulu. Tunggu beliau datang dulu. Itu Uwak Dadang Teh. Sodara sepupunya Bapak. Teteh juga mungkin nggak tahu berapa kali Mamah hampir pingsan dari mulai memandikan sampai mengantar Bapak ke makam. Lima kali Teh. Dan setiap bangun beliau selalu nyariin Teteh. Bukan cuma Teteh yang nggak terima Bapak pergi. Mamah Teh, Mamah kehilangan separuh jiwanya. Adek, Bapak bahkan belum sempat liat adek pake toga. Sekarang tinggal Adek sama Teteh yang harus ada buat Mamah. Tapi apa? Teteh malah ngejauh. Kita semua kehilangan, bukan cuma Teteh."

Tanpa sadar emosi Fajar meninggi.
Ia tak habis pikir kenapa Teteh memutuskan untuk tidak ikut campur bahkan sampai mengantar Bapak ke peristirahatan terakhirnya. Egois! Begitu pikir Fajar.

Hening kembali beberapa saat sebelum pintu di belakang Fajar terbuka. Segera ia balik badan lalu berdiri. Teteh berdiri canggung di ambang pintu. Fajar melihat bengkak dan lingkar hitam pada mata indah kakaknya itu. Wajahnya makin tirus dan pucat.

"Kenapa Teteh nggak mau nganter Bapak? Kenapa Teteh nggak mau jawab dipanggilin Mamah? Nggak ada alasan untuk nggak jawab panggilan seorang Ibu Teh. Bahkan kalo lagi sholatpun kita boleh jawab. Begitukan yang pernah Bapak ajarin? Adek nggak tahu kalo Teteh punya sisi yang kaya gini."

Teteh menunduk. Air matanya mulai menggenang lagi.

"Bapak selalu bilang, yang manusia dapatkan adalah yang terbaik. Allah kasih apa yang kita butuh bukan apa yang kita mau. Lalu apa Dek? Kita butuh Bapak. Teteh, Teteh sangat butuh Bapak. Belum ada yang Teteh kasih buat Bapak. Oh iya ada. Teteh cuma kasih malu."

Fajar tidak menyangka akan mendapat jawaban sepanjang itu. Teteh susah payah menahan tangis disela sela ucapannya. Jujur Fajar terenyuh. Hanya saja emosinya masih sedikit berkuasa. Ia hanya diam. Menunggu Teteh melanjutkan ucapannya.

"Apa dengan kaya gini semuanya selesai? Teteh bisa nggak malu lagi sama Bapak atau bahkan semua orang kalau mengurung diri disini? Berapa lama Teh?"

Fajar menatap Teteh tepat dimatanya.

"Kalau kita bicara soal yang terbaik, ini memang yang terbaik yang Allah kasih buat Bapak. Sakit beliau diangkat. Allah kasih apa yang Bapak butuh. Kita memang butuh Bapak, tapi Bapak lebih butuh istitahat panjang. Kita nggak boleh egois Teh."

"Teteh cuma kasi kecewa buat Bapak." Terbata bata Teteh menjawab. Isakannya makin keras. Sesaat kemudian ia terduduk lemas.

"Nggak susah kok untuk nggak bikin Bapak kecewa. Teteh tinggal keluar dari kamar ini dan mulai belajar ikhlas untuk bisa ngejalanin hidup lagi. Dimulai dengan jawab panggilan Mamah dan makan di bawah." Ucap Fajar dingin.

Sebelum emosinya benar benar memuncak, Fajar segera melangkah meninggalkan Farah yang termangu di ambang pintu.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

And the smiling angel can turn into an evil devil if he sees people he loves is hurting.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya :(


Much love from us

Iusernem and D

[✔️] YNWA [BTS Local Fic]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang