Opik: 7

1.4K 268 176
                                    



Tidak mudah melalui hari sebagai perempuan dengan trauma hati layaknya Farah. Luka yang tak tampak ternyata jauh lebih sakit. Tak kasat mata namun bekasnya begitu jelas terasa. Begitulah sehingga luka itu melahirkan trauma.

Takut untuk sekedar mempercayai bahwa dirinya suatu saat akan bertemu lagi dengan seseorang yang mampu membuatnya memiliki rasa itu lagi.

"Aku bukan Dia Far."

Kalimat itu terngiang kembali. Yang diulang dua kali dan mampu membuat Farah sedikit lupa akan traumanya. Namun disaat yang sama, rasa tidak percaya diri itu muncul. Kembali mengingatkan bagaimana ia pernah ditinggalkan. Kalimat tadi pada akhirnya hanya bermain - main dalam kepala Farah. Membuatnya sulit terpejam. Masih bimbang setelah tiga kali Istikhoroh disepertiga malam.

Farah membuka pintu kamarnya perlahan. Bermaksud mengambil minum, dengan pelan ia melangkah turun menuju dapur.

"Teteh belum tidur?" Fajar membuatnya tersentak. Hampir saja ia melepas gelas dalam genggamannya.

"Kebangun jadi sekalian sholat. Kamu begadang lagi?"

Kakak adik itu kini duduk bersebrangan di meja makan.

"Kebiasaan skripsi Teh. Jadi keterusan. Hehehe." Jawab Fajar. Sementara hanya Farah tersenyum.

"Si Aa apa kabar Teh?" Farah menatap Fajar. Kentara sekali ia kaget mendengar pertanyaan tadi. Lebih tepatnya ditanya tentang Opik.

Sejak malam itu, Opik memang menjaga jarak dari Farah. Komunikasi mereka tidak lagi intens seperti sebelumnya. Dan jujur saja Farah terkadang menunggu chat receh Opik yang tidak pernah gagal membuatnya tertawa.

Saat tangannya sudah mantap untuk mulai menyapa Opik, suara hatinya akan mengingatkan bahwa Opik saat ini sedang memberi jarak bagi mereka. Lebih tepatnya waktu untuk Farah memikirkan pernyataannya malam itu. Farah tidak ingin egois dengan memulai kembali disaat hatinya masih bimbang.

"Teh! Yaaah malah diem." Sahut Fajar.

"Kan yang di Jakarta teh kamu. Kok nanya sama Teteh?" Tanya Farah balik.

"Karena bentukannya teh sama - sama lieur, makanya Adek teh nanya, kitu."

"Teteh belum jawab lamaran si Aa ya?" Lanjut Fajar.

"Lamaran?" Farah tersentak.

"Yang waktu syukurannya Mamah disini. Pas banget kan disini kejadiannya?" Pertanyaan Fajar membuat kepala Farah memutar kembali scene malam itu.

"Maaf Teh. Waktu itu Adek mah nggak maksud nguping. Niatnya cuma nyariin si Aa karena hapenya bunyi - bunyi beberapa kali. Eh kedengeran pas udah disitu." Fajar menunjuk lemari besar yang ada di dinding pembatas antara ruang keluarga dan dapur.

"Teteh nggak dilamar." Jawab Farah. Wajahnya berubah makin sendu.

"Adek denger Teh apa yang waktu itu Aa Opik bilang ke Teteh."

"Nggak ada kalimat lamaran kan? Kamu mah ngaco. Salah denger itu mah." Fajar tersenyum. Wajah tegang si Teteh sudah bisa jadi bukti kalau sebenarnya kakaknya ini sudah mulai membuka hatinya tanpa disadari.

"Aa Opik teh cinta sama Teteh." Fajar tidak peduli lagi apakah jam dua pagi itu waktu yang tepat untuk kakak adik mendiskusikan perkara hati. Yang jelas, ia hanya ingin dua orang terdekatnya itu bisa saling melengkapi. Terlebih gadis ayu di depannya ini. Yang masih sulit percaya kalau sekarang ada pria yang sedang menunggunya dengan cinta.

"Teteh jangan egois atuh. Udah kelamaan Teteh ngobatin hati dari masa lalu. Lagian masa lalunya teh juga nggak jauh lebih baik kan? Teteh berhak untuk dicintai siapapun."

[✔️] YNWA [BTS Local Fic]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang