Opik; Farah: 2

1.9K 364 123
                                    



Sepertinya sarapan pagi ini adalah yang terhening selama 28 tahun hidup Farah.

Tidak ada curcol ala Fajar yang ujung -ujungnya pasti haha - hehe sampai matanya hilang. Tidak ada celetukan berbau tausyiah diantara makan ala Bapak. Tidak ada ketawa - ketawa kecil Mamah yang biasanya cuma jadi pendengar paling setia. Hanya denting sendok garpu. Bahkan itupun terdengar pelan. Mamah dan Fajar setia menatap piring di depan mereka, seolah nasi goreng beserta garnishnya sedang mengajak bicara.

Pelan - pelan Farah menuruni tangga. Sebisa mungkin ia melangkah tanpa membuat suara.

"Teteh. Sini nak sarapan. Mamah sama Adek juga baru mulai kok makannya."

Farah terkejut, membuat langkahnya terhenti lalu menatap ke arah meja makan. Mamah tersenyum menatapnya, dan Fajar ikut mengangkat pandangan sebentar lalu kembali melanjutkan makan.

Farah mencoba tersenyum. Mungkin senyum itu timpang karena rasanya sudah lama ia tidak gunakan lagi. Ia lalu mengangguk dan memilih duduk di samping Mamah.

"Kuning telurnya matang semua kok. Yang separo matang tuuu udah dihabisin si Adek." Lanjut Mamah. Kentara sekali beliau mencoba memecah hening yang terlalu canggung. Takut - takut Farah memandang Fajar yang masih setia dengan nasi gorengnya.

'Si Adek gebukin orang ceunah. Aya aya wae budak teh nya'. Baru juga 2 minggu jadi mahasiswa. Lieur Bapak Teh.'

Farah teringat telpon Bapak yang pernah bercerita bagaimana Fajar menghantam teman sekampusnya saat awal - awal masa ospek. Ya, si bungsu yang dari dulu jadi kesayangan banyak orang karena terkesan lembut dan menggemaskan ini sebenarnya bisa berubah garang saat emosinya memuncak. Dan pagi ini Farah melihat wajah garang itu.

'Dimulai dengan jawab panggilan Mamah dan makan dibawah.'

Begitu kalimat terakhir Fajar tadi. Dingin, datar tanpa senyum apalagi haha hehe seperti biasa.

"Adek duluan ya. Mau beberes buat balik ntar sore." Fajar menyudahi sarapan tanpa menunggu jawaban Mamah.

"Adek teh tadi marah - marah ya sama Teteh?" Mamah menatap lembut putri sulungnya. Farah terkejut, ia berhenti menyendok nasi gorengnya lalu balas menatap Mamah. Seketika apa yang sedang ia kunyah terasa hambar.

Jujur, bukan perkara mudah baginya untuk bisa bertemu Mamah dan Fajar setelah seminggu yang luar biasa ini. Farah menunduk. Tidak tau bagaimana menjawab pertanyaan Mamah.

"Mamah bukannya mau belain Adek, tapi apa yg dia bilang teh benar nak. Kewajiban kita sekarang teh ikhlas dan ngelanjutin hidup dengan baik. Tong galau - galau deui. Kasian hatinya Teteh kalau begini terus."

Mamah menggenggam jemari Farah. Lagi - lagi air mata mengalir menuruni pipinya yang makin tirus. Tanpa sadar tetesannya jatuh di punggung tangan beliau yang mulai keriput. Bergegas Farah menghapusnya.

"28 tahun ini, yang bisa Teteh kasih buat Bapak sama Mamah tu cuma kecewa, malu." Farah masih menunduk, sesekali menyek airmatanya dengan punggung tangan.

"Kata siapa? Teteh dari kecil mah nggak pernah bikin susah Mamah sama Bapak."

"Bapak kena hipertensi 2 tahun lalu Mah. Persis dari kejadian itu. Dan dengan egoisnya Teteh malah pergi. Teteh jahat sama Bapak." Tangisnya pecah lagi.

"Kok bisa Teteh punya pikiran begitu? Nak, dalam hidup teh ada yang namanya takdir. Jalan yang pasti udah ditetapin sama Allah. Ya udah begini jalannya Bapak Nak. Udah jalannya Teteh juga kayak gini."

"Ketemu Heru adalah hal paling Teteh sesalin seumur hidup Mah. Kalau aja Teteh nggak pernah bawa dia masuk rumah ini. Kalau aja Teteh dengerin apa kata Bapak." Ada emosi terselip dibalik ucapan Farah yang masih terbata bata.

[✔️] YNWA [BTS Local Fic]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang