Opik: 6

1.6K 285 146
                                    


​Benar kata orang. Jika sedang menunggu, sepuluh menit terasa lebih lama. Namun jika sedang ditunggu, satu jam malah seperti sepuluh menit. Seandainya Einstein tidak memecahkan ketidak jelasan itu dengan teori dilatasi waktu, tentu sampai saat ini masih banyak orang yang terjebak kegaduhan tanpa penjelasan ilmiah untuk menyelesaikannya.

Lalu bagaimana dengan Opik yang sudah manyun berkat 45 menitnya menunggu kemunculan Fajar? Sepertinya teori dilatasi waktu yang susah payah dipecahkan Einstein tidak cukup untuk membuatnya betah menunggu lebih lama lagi.

​'10 menit aja Aa, ini cuma tinggal minta tanda tangan Ibu Melia kok. Udah janji urang teh dari kemarin. Besok si Ibu mau pergi soalnya jadi kudu sekarang kitu Aa. '

​Berkat wajah tampan menggemaskan dan sedikit sogokan somay, Fajar berhasil membujuk Opik untuk mengantarnya dulu ke kampus sebelum mereka pulang ke Bandung.

Mahasiswa tahun akhir itu akhirnya berhasil menyelesaikan skripsinya dengan perjuangan yang nyaris berdarah – darah. Sebagai penutup, Fajar sekali lagi harus berburu tanda tangan dari seluruh dosen pembimbing dan pengujinya. Sepuluh menit yang dijanjikan Fajarpun akhirnya menjadi 60 menit.

​"10 meniiiit." Sambut Opik begitu Fajar berlari mendekati mobilnya.

​"Hehehe." Fajar malah tertawa sampai matanya tenggelam.

​"60 menit maneh mah. Heeuuu karet emang siah."

"Masa?" Fajar kaget. Seketika melihat jam tangannya lalu senyum. Senyum penuh sesal kalau kata Opik.

​Opik menstarter mobilnya lalu segera meninggalkan parkiran gedung teknik yang lumayan panas menyengat itu. Sedang Fajar disampingnya mulai mencari posisi nyaman untuk perjalanan 3 jam kedepan.

​"Kalo tidur urang lempar ke jurang maneh Jar." Ancam Opik begitu Fajar merebahkan sandaran kursi.

​"Bentaran Aa. Ngantuk urang teh semalam begadang ngebut revisi Ibu Melia." Fajar tidak bohong. Dan Opik juga sebenarnya tahu dari mata bengkaknya Fajar saat ia menjemput ke kosannya tadi.

​"Teu percaya. Bentarannya maneh mah dusta." Sebut Opik lagi.

​Bukannya bermaksud tegaan, tapi pada dasarnya Opik juga akan ketularan ngantuk jika orang disampingnya sudah tidur duluan saat ia menyetir.

Ada yang tahu itu penyakit jenis apa? Serius Opik mau sembuh dari sakit yang satu itu. Makanya Opik ngotot melarang penumpangnya tidur kalau dia yang nyupir.

​"Kalo gitu ngebut wae Aa. Nahan ngantuk satu setengah jam mah hayu lah." Fajar malah nantang balik.

"Ho oh. Terus kita teh nyampenya di UGD. Mau maneh?"

"Perasaan tadi ada yang ngebet pisan mau nyampe rumah Mamah Arini sampe bela – belain mau pinjem pintu doraemon." Ledek Fajar.

"Cicing siah. Lagi konsentrasi ini urang teh."

Fajar tertawa puas. Jika dirontgen, mungkin tulang pipi Fajar sudah naik sekian sentimeter karena puas menertawakan Opik sejak kemarin. Sejak Fajar menyebar undangan syukuran kepulangan Umrohnya Mamah di grup geng rinso. Saat itu Opik orang pertama yang respon lengkap dengan emot love love yang ambigu. Selanjutnya, tentu saja sesi buli dimulai.

Sudah bukan rahasia lagi kalau Opik naksir Teteh. Dan Fajar sebenarnya restu kok. Hanya saja tidak lengkap rasanya jika semua berjalan tanpa cia cia massal seperti biasa. Maka dari itu, Fajar merasa syukurannya Mamah juga harus jadi syukurannya Opik, dan Teteh juga jika itu mungkin.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Toyota Rush hitam milik Opik mendarat di halaman rumah Fajar setelah dua setengah jam perjalanan. Opik seketika melirik spion dalam mobilnya. Merapikan rambut yang sebenarnya tidak berantakan, bahkan mengusap wajahnya dengan tisu.

[✔️] YNWA [BTS Local Fic]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang