Opik: 3

1.9K 336 117
                                    



Salah satu sudut di Meraki, spot yang boleh dibilang paling banyak peminatnya karena bisa bebas mengamati seisi kafe.

Di sana, ada dua pria yang sepertinya terlibat diskusi seru. Genta yang tengah menyimak sambil sesekali tertawa, dan Opik si pembicara yang suaranya hampir bisa didengar sampai pintu depan kafe. Bukan tanpa alasan Hani menamainya toa masjid.

"Bengkak matanya teh mana belekan pula. Asli gue horor ngeliatnya. Pertama kali itu terciduknya Ta. Kok bisa sampe begitu. Kan cuma pelem. Orang si Om idung joget - joget lagi dipelem berikutnya. Gelo kadang si eneng mah. Mau aja lagi lo diracun."

"Kaya lo nggak doyan sama Bollywood aja. Tapi emang itu Kal Ho Na Ho bagus Pik. Sedih beneran."

"Ckckck. . . Lieur emang kalo udah bucin mah ya. Apa yang si eneng kata bagus lo ngikut."

"Ya Allah, kesian banget si Hani. Abang sendiri gibah. Nggak paham inyong." Reki bergabung dengan dua sahabatnya yang sudah duduk ganteng dari sejam yang lalu.

"Nggak usah ikut campur maneh Ki. Ini intern, antar ipar."

"Oooo ipaaaar. Lampu ijo mas brooo." Seru Reki menepuk pundak Genta. Sementara yang ditepuk hanya tersenyum penuh arti.

Opik melirik Reki, pura-pura bengis padahal dalam hati sih dia setuju juga. Rasanya Hani lebih bahagia sejak ada Genta. Walaupun Opik sering bilang Genta kalau sama Hani ibarat dapat radio rusak, tapi ia sadar sepenuhnya bahwa Genta juga lebih bahagia. Dan Reki, sepertinya juga ada yang beda dengan mas inyong satu ini. Opik yakin ini bukan karena Meraki yang makin ramai atau Bram yang makin hari makin kreatif sama menu. Bukan juga karena belakangan banyak abege unyu yang betah duduk lama disana. Opik yakin bukan. Entah kenapa radar lamtur Opik menangkap sinyal tak biasa.

"Inyong balik dapur dulu lah." Reki kini melangkah menuju dapur. Kedua mata Opik masih mengekor sampai Reki benar-benar menghilang di balik pintu.

"Si Reki beda ya."

"Hah? Beda gimana?" Genta meletakkan ponsel setelah dari tadi sibuk mengetik.

"Jadi kayak lo waktu gue kenalin ke si eneng."

"Reki lagi suka sama orang?"

"Mudah-mudahan orang lah."

"Eii kualat lo." Sebut Genta tapi ikut tertawa.

"Tapi beneran Ta. 15 menit dia duduk disini tadi mungkin ada 6 kali dia nengokin pintu masuk. Kayak lagi nunggu." Pancing Opik.

"Lagi liatin customer aja kali Pik. Belakangan kan rame."

As usual, Genta dengan logikanya. Lalu sibuk lagi dengan ponsel yang rajin berbunyi sejak tadi.

Opik mendengus pelan. Ternyata, selain lebih bahagia, Genta juga jadi lebih sibuk dengan ponsel sejak berstatus pacarnya neng Hani. Atau ini cuma perasaan Opik saja?

"Hmmmm. Dianggurin deui urang teh." Opik manyun.

"Eh sorry Pik. Ini si Hani lagi bingung pilih tas. Nanya gue lebih suka yang mana gitu." Nyata sekali Genta bahagia.

'Bisa ya, segitu senengnya cuma disuruh pilih model tas?'

Begitu pikir Opik. Apa Genta sudah boleh disebut bucin?

Sejak Yogi punya Mila dan Genta punya Hani, Opik merasa kumpul di Meraki jadi lebih sepi. Suara notifikasi ponsel mengalahkan serunya debat kusir mereka yang biasanya.

Tidak jarang mereka duduk semeja dalam diam dan sibuk dengan ponsel masing-masing. Sekarang, meskipun lengkap ditambah Parjo dan Oik, keadaan tidak jauh berbeda. Oik jauh lebih bucin sejak ada Lisa. Aji dan Fajar lebih sering buka laptop karena ngebut skripsi.

[✔️] YNWA [BTS Local Fic]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang