Meraki belum begitu ramai saat Fajar selesai sholat zuhur di musholla. Ia kembali ke back office sambil menunggu giliran bertugas mengantar pesanan ke meja pengunjung. Lonceng yang digantung di pintu masuk utama berdenting nyaring. Seperti sudah terprogram, seluruh kru Meraki akan menoleh kesana jika si lonceng bersuara. Dan yang terdekat dari pintu akan mengucapkan 'Selamat Datang di Meraki' diikuti senyum terbaik yang dimiliki."Maju Jar." Reki mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum jahil.
Dengan senyum malu tapi mau Fajar mengambil menu dan menghampiri meja nomor 13."Selamat datang di Meraki. Silahkan menunya."
"Fajar?" Yang disodori menu menatap Fajar kaget.
"Hai Ta." Jawab Fajar dengan senyum groginya.
"Lo join disini sekarang?"
"Baru dua minggu ini gabung jadi kru. Sambil nunggu wisuda." Jawab Fajar lagi masih dengan notes kecil ditangannya.
Atta mengangguk, ikut tersenyum. Satu yang ia sadari belakangan ini, senyum Fajar itu menular. Entah menularnya dari mana. Sepertinya berasal dari mata sipit yang melengkung seperti bulan sabit setiap kali pemiliknya tersenyum.
"Mau pesen apa Ta?"
"Ya? Oo iya sorry." Atta baru ingat kalau ia harus memesan sesuatu. Pipinya mendadak menghangat. Semoga tidak ketahuan kalau tadi sempat melamunkan senyum Fajar.
'Astaga, senyum itu lagi'.
Rutuk Atta kemudian membuka menu. Fajar sekilas menatap wajah Atta yang sedang membolak balik menu. Ia merasa selalu berhadapan dengan Atta yang berbeda setiap kali mereka bertemu.
Pertama kali bertemu di gym waktu itu, Fajar berkesimpulan kalau Atta adalah perempuan galak. Kali kedua bertemu, Fajar mulai berpikir kalau Atta adalah perempuan dengan masalah yang membuatnya insecure. Kesimpulan yang Fajar ambil dari sekian bulan berkomunikasi meskipun hanya lewat sosial media. Dan dari yang baru saja ia lihat, Fajar mau bilang kalau Atta juga punya sisi seperti Lisa. Sisi yang...
'Astagfirullaaah, gelo siah Jar.'
Segera Fajar menggeleng.
"Karedok sama es kopi item aja Jar."
Atta menyebut pesanan sambil menutup menu dan menyerahkannya pada Fajar.
"Ditunggu ya." Fajar kembali tersenyum sebelum bergegas ke dapur. Sama sekali tidak mengetahui bahwa senyumnya Fajar sudah tidak aman lagi untuk seorang Atta. Gadis itu sampai cengo sesaat. Baru tersadar kalau ada sesuatu yang berbeda saat matanya menangkap senyum itu.
Beberapa waktu sudah berlalu sejak pertama kali komunikasi mereka dimulai. Sebelumnya tidak ada yang beda bagi Atta. Tidak setelah Fajar membuka Pandora nya yang terkunci sejak ia memutuskan hijrah ke Jakarta seorang diri. Atta bahkan tidak menyadari bagaimana Fajar bisa membuatnya membuka kotak itu begitu saja. Bagi Atta, secara harfiah Fajar adalah fajar. Seperti terang dalam gelap. Atau jika boleh lebih lebay, pelangi setelah hujan.
Fajar tentu tidak tau sebesar apa pengaruh obrolan - obrolan mereka kemarin terhadap hari - hari Atta. Kalimat demi kalimat yang bagi Fajar biasa saja namun bagi Atta itu lebih seperti shock therapy. Ia pernah skeptis dengan hidupnya, masa depannya, bahkan sampai lupa untuk apa dan siapa ia hidup. Lalu Tuhan yang maha baik masih bermurah hati menegurnya lewat seorang Fajar. Dan dari semua kalimat Fajar yang menurut Atta layak untuk dicatat, satu diantaranya serasa cambuk 'Bisa jadi hidup yang lo punya sekarang ini adalah hidup yang orang lain mau.'
Awalnya Atta berpikir ini terlalu teoritis, bokis, sampai ia bertemu seorang gadis 20 tahunan yang nyaris meninggal di toilet club tempatnya bekerja. Atta shock saat mendapati si gadis yang sudah melukai nadinya dengan entah cutter atau silet. Menyadari aksinya dilihat orang lain, gadis itu berkata,
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] YNWA [BTS Local Fic]
Romance"Terima kasih untuk pertemanan, persaudaraan, dan percintaannya ehe?, cerita ini bukan sekedar kenangan yang kita lalui sama - sama, jadi lebih baik di tulis biar nggak lupa, sekalian bukti si Fajar yang selalu teraniaya , ataupun Bang Reki yang mi...