Matahari ibu kota makin panas menyengat saat Fajar keluar dari pintu mesjid sekitar kosannya. Ini sudah kali kedua ia bertahan lebih lama disana setelah solat subuh. Mencoba istikhoroh setelah solat dhuha.Sudah dua minggu sejak hati dan logikanya mulai tidak sejalan. Ia galau, merasa bersalah, pengecut. Galau karena tidak tau harus pilih hati atau logika. Bersalah karena justru ia sendirilah yang merusak apa yang ingin ia jaga dan hormati. Pengecut karena sampai hari ini ia belum berani bicara dan mengakui apa yang membuatnya berubah belakangan ini. Meski tiap hari masih jadi ojek cintanya Atta, Fajar cenderung diam, tidak banyak tertawa, dan akan tersentak kaget saat mereka tidak sengaja bersentuhan.
"Kebanjiran deadline lagi ya?" Keduanya duduk berhadapan di meja keramat geng rinso, dan Atta baru selesai dengan shift paginya. Fajar mengangkat wajah, balik menatap Atta yang terlihat cemas.
"Lumayan Ta. Besok - besok kayaknya bakal sering lembur." Entah itu bisa disebut jawaban istikhoroh atau tidak, belakangan memang Fajar kewalahan dengan pekerjaannya di kantor. Yang bukan mengerjakan pekerjaan diluar jobdesk seperti kemarin. Kesibukan yang membuatnya melupakan ponsel bahkan makan siang. Dan sepulang mengantar Atta, ia akan jatuh tertidur segera setelah kepala bertemu bantal. Tanpa Fajar sadari, ia dan Atta tidak lagi seintens biasanya.
"Aku nggak apa - apa kok pulang sendiri. Kan bisa ojol." Fajar mengepalkan dua tangannya yang ada di bawah meja. Wajah khawatir itu membuat hati dan logikanya kembali perang.
"Maaf ya Ta. Mungkin karena mau closing akhir taun. Jadi segala PC di kantor juga ikutan diforsir sama yang make. Jaringan internet juga belakangan banyak ulahnya." Sebut Fajar lagi.
Atta tersenyum. Jujur ia ingin sekali merapikan surai hitam favoritnya itu. Mengusapnya lembut. Namun Atta sadar, Fajar mulai tidak nyaman dengan adanya kontak fisik.
"Pulang yuk. Besok Senin. Biar full istirahatnya." Atta lalu berdiri dan berjalan menuju parkiran Meraki.
.
.
.
.
.
.
."Aku semalem ditelpon Mas Ian." Ragu - ragu Atta mulai bicara setelah diam sepanjang perjalanan pulang. Fajar yang tadinya sudah mau menstarter scoopynya kemudian mengurungkan niat.
"Ibu sama Bapak ribut besar. Jantungnya Ibu kumat lagi." Lanjut Atta lirih. Fajar melihat kemarahan dan kesedihan dimata Atta.
"Jadi Ibu masuk rumah sakit?"
"Iya. Masi di ruang observasi. Belum boleh pindah ke ruang rawat." Atta menunduk
"Pulang Ta." Singkat, namun berhasil membuat raut wajah Atta makin keruh.
"Aku tau kamu pasti bakal bilang ini. Dan aku juga capek jelasin ke kamu kenapa aku..."
"Walaupun sekarang Ibu sakit?" Potong Fajar agak keras.
"Mas Ian telepon kayak gitu pasti bukan cuma niat kasih kabar Ta. Dia butuh temen. Dan Ibu butuh kamu." Lanjut Fajar lagi.
"Kapan sih kamu bisa sekali lagi aja turunin ego kamu untuk pulang? Kamu udah liat kan apa yang kamu dapet kalo mau kalah sama ego? Kamu sekarang bisa baikan lagi sama Ibu dan Mas Ian, mereka keluarga kamu. Dan mungkin aja kalo kamu ketemu Bapak..."
"Ibu kumat gara - gara Bapak!" Atta tersulut emosi.
"Gara - gara aku. Ibu belain aku dan Bapak nggak terima." Suara yang tadinya meninggi itu mulai bergetar. Namun Atta berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Belain kamu?" Tanya Fajar bingung.
"Bapak tetap nggak terima pilihan aku untuk kerja desain. Apalagi pas Ibu bilang aku kerja di cafe sambil tunggu panggilan kerja. Dan kamu tau apa yang bikin Ibu marah sama Bapak? Dia bilang malu kalau ada yang tau anaknya jadi pelayan cafe." Suara Atta meninggi lagi dengan wajah yang menahan emosi. Fajar tertegun sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] YNWA [BTS Local Fic]
Romance"Terima kasih untuk pertemanan, persaudaraan, dan percintaannya ehe?, cerita ini bukan sekedar kenangan yang kita lalui sama - sama, jadi lebih baik di tulis biar nggak lupa, sekalian bukti si Fajar yang selalu teraniaya , ataupun Bang Reki yang mi...