Setelah keluar dari kelas kepenulisan, mereka meluncur untuk mencari makan. Apalagi Mia memang belum sarapan.
“Kau mau makan apa?” tanya Kyungsoo setelah mereka mendudukkan diri di salah satu tempat makan siap saji. Mia dengan semangat memesan banyak makanan, lalu keduanya mengobrol sambil menunggu.
“Omong-omong, terima kasih sudah menuliskan materinya untukku. Sebenarnya aku tak terlalu butuh, tapi karena kau membantuku masa iya tak kupakai?” ujar Mia sambil terkekeh. “Sebagai gantinya, aku akan mentraktirmu.”
“Tak usah,” sahut Kyungsoo sambil tersenyum tipis.
“Tidak apa-apa. Cuman minum kok, hehehe.” Kyungsoo gatal sekali ingin menjitak kepala Mia, jadi tangannya melayang begitu saja sampai membuat kekasihnya itu meringis. Percayalah, jitakannya asli jitakkan keras.
Daripada itu, Mia mulai mencari topik lain untuk mendekatkan diri dengan Kyungsoo. Ia bertanya banyak hal seperti karirnya selama ini, bahkan hal pribadi seperti hobby pun ia tanyakan. Sementara Kyungsoo sendiri tak banyak bicara, tapi ia bisa menilai Mia hanya dari sikapnya.
Kyungsoo tak perlu bertanya banyak hal, ia ingat saja semua yang muncul dalam diri kekasihnya. Seperti apa kesukaannya saat makan, apa yang membuatnya tertawa dan apa yang membuatnya sedih. Kyungsoo punya cara sendiri untuk mengetahui semua tentang Mia.
Setelah membicarakan banyak hal dan sebenarnya Mia yang terus mengoceh, akhirnya mereka selesai makan dan memilih tempat lain untuk melanjutkan kencan. Pilihan mereka jatuh ke toko buku karena Kyungsoo butuh beberapa bacaan.
Mia sempat menyuruhnya membaca beberapa cerita yang ia buat, namun yang ada Kyungsoo langsung misuh-misuh karena ingat pernah sekali membacanya. Ia menceramahi kekasihnya supaya tidak membuat cerita yang aneh-aneh. Gadis itu jadi menyesal karena mempromosikan ceritanya.
Setelah cukup lama mengikuti Kyungsoo, akhirnya lelaki itu sempat bertanya, “Kau tidak berniat untuk membukukan salah satu ceritamu?”
“Kenapa? Kau berniat untuk mengangkatnya jadi film?” tanya Mia dengan mata yang berbinar-binar. Kyungsoo jelas saja menggeleng sambil bergaya seakan tak sudi untuk mengabulkannya. Mia langsung cemberut dengan tak lupa mencubit tangannya. “Tidak, aku menulis untuk kesenangan saja.”
“Oh.”
Tapi setelah mendengar pertanyaan Kyungsoo, Mia jadi berpikir lebih jauh. Mungkin tak ada salahnya ia mempertimbangkan hal itu. Lagipula memang banyak di antara para pembacanya yang mengusulkan untuk menjadikan cerita Mia ke dalam versi cetak.
“Boleh aku jujur padamu?” tanya Mia sambil bersandar di rak, menghadap ke arah Kyungsoo yang sibuk sendiri dengan beberapa judul di buku yang ia pegang. Lelaki itu mengangguk tak acuh. “Aku sebenarnya pernah ditawari untuk mencetak ceritaku jadi novel, hanya saja aku masih bingung.”
“Bingung kenapa?” tanya Kyungsoo meliriknya sekilas.
“Aku takut tak ada yang mau membelinya.” Kyungsoo mengambil satu buku dan tersenyum ke arah Mia, lantas ia mengangguk mengerti sebagai sahutan.
“Aku juga dulu begitu. Aku ragu saat membuat film, takut tak akan ada yang mau menontonnya. Tapi aku yakin bahwa takkan ada usaha yang berakhir sia-sia. Jadi aku melawan rasa takut itu untuk membuktikan bahwa aku bisa, mampu mewujudkan harapanku agar orang-orang menikmati karyaku. Menjadikan mimpiku nyata.”
Mia hanyut dalam setiap kalimat yang keluar dari mulut Kyungsoo. Lelaki yang sedang membicarakan impiannya.
Mia tidak pernah benar-benar memikirkan sebuah impian. Ia selalu mensyukuri kecukupannya setiap hari. Tapi sekarang ia menemukan sebuah keinginan, menjadikan itu sebuah harapan yang mau ia gapai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Wall
FanfictionKetika si pengendali mimpi bertemu dengan Author Fanfiction yang mengandalkan mimpi untuk tulisannya. Ada yang tahu jika mimpi sebenarnya bisa dikendalikan? Jika tidak, ayo berkenalan dengan Mia Melody. Gadis pengangguran yang punya pekerjaan sampin...