Malam menjemput, Jihyun menyerahkan handuk rambut pada Louis yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wajahnya ditekuk, tebaknya Jihyun pasti tak mendapatkan penjelasan apa-apa dari Hana soal kejadian siang tadi.
“Kau sudah makan?” tanya Louis lembut. Jihyun menggeleng sambil membantunya mengeringkan rambut di lantai beralaskan karpet. “Kenapa?”
“Aku menunggumu.”
“Biasanya juga tidak,” sahut Louis tersenyum jahil, ingin membuat Jihyun ceria dan melupakan soal adu mulut singkat antara Hana dan Mia. Jihyun menggeleng tak berselera, guyonan Louis tak berpengaruh padanya.
Jihyun bilang, “Aku tak mau bicara dengan nenek.”
“Kenapa? Jangan begitu, Jihyun.” Louis mengusap rambut Jihyun sambil tangan yang lainnya menggenggam tangan perempuan tersebut. Padahal dia hanya tak mengerti dan ingin tahu, memang obrolan apa yang membuat teman serta neneknya nyaris bertengkar tadi? Lagipula Jihyun juga dibawa-bawa. “Nanti aku bicara dengannya, hm?”
Jihyun akhirnya mengangguk, ia menarik Louis untuk keluar dari kamar. “Ayo, aku sudah masak.”
Makan malam di keluarga kecil ini jadi sepi, tak seperti biasanya yang selalu menyenangkan. Jihyun itu penghidup suasana walaupun mereka tinggal di dekat hutan. Mereka adalah deskripsi keluarga bahagia yang tidak pernah diganggu orang usil.
Selesai makan, Jihyun pergi mencuci piring dan membereskan meja. Sementara Louis menghampiri Hana yang sedang duduk di teras kayu luar sambil memandangi langit malam. Cuacanya cukup dingin, maklum mereka dekat dengan gunung.
Dengan lembut Louis menyampirkan selimut di pundaknya, di saat-saat begini ia tahu apa yang Hana pikirkan. Pasti soal anaknya.
“Jangan sakit,” ucapnya sambil tersenyum. Hana menatap Louis dengan sendu, sedikit-banyak keributan siang tadi mampir di pikirannya. “aku tahu semuanya.”
“Apa maksudmu?” tanya Hana serak, suaranya lemah seperti orang tua pada umumnya.
“Halmeoni, sudah sejak lama aku ingin mengatakan ini …” ucap Louis sambil menggenggam erat tangan keriput milik Hana. Menarik napas dalam dan tersenyum getir. “… aku minta maaf untuk kedua anakmu.”
Wajah Hana memerah, kentara sekali menahan tangisan. Ia mengalihkan tatapannya ke depan supaya wajah Louis tak perlu dilihatnya. Sejak ia memutuskan untuk merawat Louis dan Jihyun, hatinya bulat untuk tak menyalahkan mereka karena selamat.
Ia sungguh tak rela anaknya meninggal. Tapi memangnya apa yang bisa ia perbuat???
“Kau sudah ingat semuanya?” tanya Hana.
“Sejak awal aku tidak seperti Jihyun,” jawab Louis merasa bersalah.
“Lalu kenapa tidak segera pergi? Kau kasihan pada halmeoni?” tanya Hana yang dijawab cepat dengan gelengan kepala oleh Louis. “Kenapa harus kasihan pada nenek tua sepertiku? Sebentar lagi ajal juga menjemput. Padahal dulu kau bisa biarkan aku mati sendirian tanpa diketahui orang-orang.”
“Halmeoni!” tegur Louis tak suka dengan kalimatnya. “Bukan begitu maksudku …”
Air mata Hana jatuh perlahan, kejadian beberapa tahun lalu melintas di ingatannya. Bersamaan dengan itu, Louis menjelaskan apa alasan Mia menemui mereka di rumah tua itu. Dengan pelan, sangat lembut, juga berupaya supaya Hana bisa menerima baik penjelasannya.
Hana tak memotong setiap kalimat yang meluncur dari mulut Louis, ia mendengar dengan seksama.
“… sedikitpun aku tak merasa mengasihanimu, justru aku selalu dihantui rasa bersalah karena kematian mereka. Itulah kenapa aku lebih memilih tinggal di sini, jika keajaiban datang pada Jihyun (ingatannya kembali), aku ingin pulang dengan membawamu juga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Wall
FanfictionKetika si pengendali mimpi bertemu dengan Author Fanfiction yang mengandalkan mimpi untuk tulisannya. Ada yang tahu jika mimpi sebenarnya bisa dikendalikan? Jika tidak, ayo berkenalan dengan Mia Melody. Gadis pengangguran yang punya pekerjaan sampin...