Paper Wall - Lima Puluh Satu

389 103 64
                                    

Baru dua kali berkunjung, Mia tidak memberikan kabar lagi pada Baekhyun. Yang bisa dia hubungi hanya Jooheon karena Shownu tak tahu soal permintaan tolongnya ini, Mia bilang dia pasti akan menolaknya. Jooheon mengatakan ketika dia datang ke rumah Mia, perempuan itu beralasan ingin sendiri dulu.

Baekhyun tak bisa memaksa, lagipula Mia juga punya kehidupannya sendiri. Tidak harus selalu membantu Kyungsoo apalagi mereka tak punya hubungan apa-apa.

Ini sudah hari ketiganya tidak datang, Jooheon bilang Mia malah selalu datang ke rumah Chanyeol untuk bertemu Seulgi. Mendengar itu tentu saja Baekhyun jadi menghubungi Chanyeol dan menanyakan apa yang dilakukannya.

Aku tidak tahu, mereka hanya diam di kamar.”

Sebenarnya sebelum benar-benar pamit saat itu, ketika terakhir kedatangannya ke rumah. Mia sempat bertanya apa Kyungsoo sudah datang ke rumah Boksil karena dia sudah memberinya alamat, Baekhyun menggeleng.

Justru kembarannya hanya ingin bertemu dengan Mia. Setelah itu dia menyerah dan tertidur.

Sedangkan di sisi Mia sendiri, dia benar-benar butuh waktu sendiri. Dia masih tak percaya dengan apa yang baru saja diketahuinya soal kematian Jihyun dan Louis. Sekarang ia mengerti kenapa Kyungsoo dan Hyo Jin sampai menyudutkannya jika membicarakan Jihyun, karena mereka bukan hanya mirip.


Mereka itu orang yang sama.

Lantas sebenarnya apa yang terjadi kalau mereka orang yang sama tapi tidak pulang dan membeberkan kebenarannya? Begitu pikir Mia penasaran.

Seulgi sendiri cukup aneh karena Mia jadi sering datang ke rumahnya lalu hanya diam, paling bertanya apa yang harus dilakukannya untuk Kyungsoo di saat jelas-jelas Mia pastinya lebih tahu dari Seulgi.

“Aku harus melakukan sesuatu …” desah Mia sambil menarik selimut di kasur Seulgi.

“Tentu saja. Kau harus membantunya daripada diam di sini tak jelas sedang apa,” celetuk Seulgi di meja riasnya. Ia menoleh dan mengerutkan keningnya bingung. “kau punya pikiran, ya? Apa? Sini bagi denganku!”

Mia menggeleng tak berarti dan seketika bangun, melempar selimut temannya asal dan membuka pintu keluar. “Aku pergi dulu.”

















***

Sesampainya di daerah dekat gunung Tabaeksan, Mia bertanya ke warga sekitar apakah mereka mengenal orang yang bernama Boksil dan In Guk. Kebanyakan dari mereka hanya menggeleng tak yakin dan berlalu begitu saja.

Mia hampir menyerah karena respons orang-orang sana tidak memberinya informasi pasti. Sampai ke pedalaman sekitar mau masuk ke gunung, ia bertemu warga yang memberinya setitik pencerahan.

“Ah, mereka yang tinggal dengan nenek Hana? Rumahnya ada di dekat hutan, yang paling lusuh dan ujung. Memang kau punya urusan apa dengan mereka?” tanya warga tersebut. “Banyak rumor yang mengatakan nenek itu gila. Anak-anaknya juga jarang keluar rumah. Dulunya dia istri seorang pendeta yang dituduh karena sebuah kasus. Cerita lama, tapi apapun urusannya kuharap kau hati-hati.”

Mia mengangguk ragu, ia mulai menaiki motornya lagi yang dipinjam dari Seulgi. Menuju ke rumah Hana yang katanya punya anak bernama Boksil dan In Guk.
Alamatnya memang tidak terlalu pasti, itulah kenapa Mia bertanya kepada warga sekitar.

Sesampainya di sana ...

“Aku merasa bisa menjadi author genre horror sekarang,” gumamnya menghentikan motor di kawasan yang sepi. Banyak pohon di sekitarnya dan rumah Hana benar-benar lusuh bahkan mirip seperti rumah berhantu.

Mendengar suara yang asing, seseorang keluar dari sana. Seorang nenek tua dengan mata yang memicing sinis, bulu kuduk Mia langsung berdiri. Segera ia lepaskan helm dan turun dari motornya. “Permisi.”

“Kau siapa? Ada urusan apa ke sini?” tanyanya tak bersahabat. Mia sedikit ciut mendengar responsnya yang ketus itu.

Emm, namaku Mia. Aku datang ke sini karena Boksi—"

“Siapa, Nek?” tanya Jihyun (Jihyun, karena memang bukan Boksil) keluar dari rumahnya. Ia menatap terkejut pada Mia yang sudah lama tak dilihatnya, lagi juga lebih tak percaya karena Mia bertandang ke rumahnya setelah ia berikan alamat tempat tinggalnya. “Mia?!”

Jihyun menyapa dengan ramah, bahkan tangannya digenggam dengan hangat. Jihyun menjelaskan dengan singkat kepada neneknya bahwa Mia adalah orang atau teman yang ia dapatkan dari liburannya. Walaupun Hana kurang suka dengan kehadirannya, tapi mendengar penuturan Jihyun membuat ia mempersilakannya masuk.

Kalau bisa dibilang jelek, maka Mia akan menggunakan kata itu untuk mendeskripsikan isi rumahnya. Keterlaluan sih, tapi memang begitu adanya. Tempat tinggalnya Jihyun jauh dari kata layak.

“Minum dulu!” ujar Jihyun sambil menyimpan teh di meja kecilnya di ruang tamu. “Maaf tak bisa memberikan yang enak.”

Gwenchana,” sahut Mia ramah. Matanya menelisik serius pada perempuan di depan dan memorinya langsung membandingkan dengan foto Jihyun yang ia dapatkan dari perusahaan tempatnya dulu bekerja. Ia sudah yakin bahwa mereka orang yang sama, walau tak mengerti bagaimana bisa temannya ini selamat.

“Jihyun?” panggil Mia pelan dan Jihyun malah menunjukkan raut bingung. Seperti takutnya salah dengar dengan apa yang Mia ucapkan barusan. Hal itu membuktikan bahwa Jihyun asing dengan namanya sendiri.

Hana memperhatikan mereka dari dekat pintu kamar, rumahnya yang minimalis membuat ia bisa ada di mana saja tanpa dianggap mencurigakan. Ketika mata keduanya beradu, saat itu juga Mia mulai berpikir bahwa tatapan Hana seakan punya arti lain.

Apa mungkin dia tahu sesuatu? Pikirnya.

Halmeoni, ini pertemuan pertama kita,” sapa Mia sambil tersenyum. Reaksi spontan ketika mata keduanya bertubrukkan. Hana mengangguk tak acuh dan masuk ke dalam kamar.

“Jarang ada yang mau bertandang ke sini. Maklumi ibuku yang begitu, ya? Dia sebenarnya baik.” Jihyun tersenyum untuk mencairkan suasana, Mia mengangguk paham. Otaknya mulai berpikir mungkin ia harus lebih sering datang ke sini dan mengorek informasi yang sebenarnya dari Hana.

Setelah beberapa saat mereka hanya mengobrol dan menanyakan kabar, Mia memberikan novel miliknya sebagai hadiah untuk Jihyun. Jelas saja perempuan ini senang bukan main karena hari-harinya tidak akan membosankan.

“Kau tidak bekerja?” tanya Mia setelah meminum tehnya.

“Tidak, In Guk tak memperbolehkanku. Kalau kau perhatikan, tanganku sebenarnya tak kuat mengangkat atau bekerja terlalu keras. Bakal sakit sekali,” jawabnya menggerakkan tangan kanannya.

Merasa punya kesempatan, akhirnya Mia menawarkan Jihyun untuk bekerja sama saja dengannya. Mia bisa mengajari Jihyun berjualan online, kebetulan dia sudah cukup sibuk juga dengan bukunya.

Jihyun tentu saja senang dengan tawaran itu, ia meminta izin pada Hana dengan harapan penuh. Melihat semangatnya, Hana menyetujui hal itu. Ternyata Hana tak sedingin kelihatannya. Toh Jihyun tak harus berpergian untuk berjualan.

“Besok-besok aku ke sini lagi, ya?” kata Mia berdiri. “Sekarang aku harus pulang.”

“Eh? Kenapa cepat sekali?” tanya Jihyun kecewa. Ia bahkan belum bertanya lebih soal apa yang terjadi selanjutnya tentang masalah Mia di Jeju. Perempuan ini malah tersenyum sambil bersiap.















“Aku harus membantu seseorang,” jawabnya yang hanya diangguki oleh Jihyun. “seseorang yang istimewa bagimu.”

Tentunya Jihyun tak mendengar karena Mia mengatakan itu dengan pelan.

Paper WallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang