Kyungsoo mengerjap, dia menemukan presensi ibunya yang sedang melipat baju di depan lemari di kamarnya. Dia tersenyum, ternyata panggilannya beberapa saat yang lalu membuahkan hasil. Putranya itu terbangun dari tidurnya.
“Kau sudah bangun?” tanyanya sambil menutup pintu lemari. Ia berjalan mendekat ke arah kasur dan duduk di tepiannya menghadap ke Kyungsoo. “Mimpi indah?”
“Aku tidak mimpi apa-apa,” jawab Kyungsoo serak sambil duduk dan menyibak selimut yang menutupi hampir sedadanya.
Hyo Jin bertanya setelah melirik laci nakas yang terbuka dan menemukan sebuah kotak cincin di sana, “Kau mau bertemu dengan Jihyun lagi hari ini?”
Kyungsoo terdiam, matanya malah bergerak ke segala penjuru kamar sambil menunggu suara yang bergema bernama Mia. Biasanya dia akan terbangun oleh sapaan suara itu. Lantas kemana dia sekarang?
“Mungkin.” Hyo Jin tersenyum, ia mengutarakan betapa bahagianya jika Jihyun menjadi menantu keluarga besar mereka. Kyungsoo pun turut tersenyum karena pilihannya diterima baik oleh sang ibu.
Namun benarkah?
“Eomma,” panggil Kyungsoo menginterupsi ocehan ibunya. “kalau misalnya … Jihyun tidak menjadi menantumu. Bagaimana?”
Hyo Jin menunjukkan raut bingung pada awalnya, dia bahkan bertanya atas dasar apa anaknya ini tiba-tiba bertanya begitu. Kyungsoo menggeleng, entah kenapa ingin saja bertanya demikian. Dia memang beruntung bisa mendapatkan perempuan yang nyaris sempurna seperti Jihyun. Selain baik dan pandai dalam beberapa hal sebagai seorang perempuan, dia juga kesempurnaan yang hingga kini tak Kyungsoo percayai bahwa Jihyun adalah miliknya.
Tapi bukankah hidup itu saling melengkapi? Lantas apa jadinya kalau Kyungsoo tidak bersama sang pujaan hati?
Ia penasaran respons ibunya.
“Hanya … bagaimana? Kalau misalnya memang ada rasa tak cocok di antara kami,” lanjut Kyungsoo.
Hyo Jin menghela napas sambil menggenggam tangan anaknya dengan lembut, senyum tulusnya terukir di wajah keriputnya. “Kalau begitu mau bagaimana lagi? Kyungsoo, siapapun perempuan itu jika kau merasa bahagia … maka eomma juga bahagia.”
Rasanya seperti déjà vu. Kyungsoo pernah mendengar jawaban itu walau ia lupa kapan pastinya. Suasananya, udara paginya, senyuman ibunya, dan kalimat barusan benar-benar pernah ia alami sebelum hari ini.
Hyo Jin bangkit sambil menyuruhnya untuk bergegas mandi, mengingatkan bahwa Kyungsoo harus cepat-cepat menyerahkan isi dari kotak cincin tersebut pada kekasihnya. Nam Jihyun.
***
“Kyungsoo, kau menungguku?”
Kyungsoo merutuk, suara itu datang di saat yang kurang tepat. Sekarang ia sedang ada di salah satu tempat yang indah, restoran klasik yang sengaja dikosongkan untuk dirinya dan Jihyun. Minggu yang indah jika Jihyun menerima lamarannya hari ini. Memang tidak dihias apa-apa, toh Kyungsoo kurang suka. Yang penting kan lamarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Wall
Fiksi PenggemarKetika si pengendali mimpi bertemu dengan Author Fanfiction yang mengandalkan mimpi untuk tulisannya. Ada yang tahu jika mimpi sebenarnya bisa dikendalikan? Jika tidak, ayo berkenalan dengan Mia Melody. Gadis pengangguran yang punya pekerjaan sampin...