“Setelah ini … apa?” tanya Louis menoleh ke sampingnya. Mia berjalan gontai ke halte bus, berkali-kali menghela napas sambil mereka ulang cerita dari Hana.
“Terserah padamu,” jawabnya memasukkan kedua tangannya ke saku cardigan warn gading yang ia pakai. “tujuanku ingin tahu kronologis kecelakaan hanya karena aku mau Jihyun mengetahuinya. Aku hanya ingin Jihyun ingat siapa dirinya.”
“Kau sahabat baik Jihyun, ya? Aku pikir kalian hanya saling kenal ketika kita di Jeju. Maaf kalau keputusan egoisku membuatnya melupakan kenangan pertemanan kalian.”
Mia tersenyum getir, sepertinya dia belum menceritakan secara detail tentang hubungannya dengan Jihyun yang sebelum ini tidak saling mengenal. Hubungan sebenarnya sebelum mereka bertemu di pulau Jeju.“Louis … apa kau tahu siapa nama lengkap kekasihku yang kuceritakan di Jeju? Tentang keluarganya yang menganggap Jihyun mirip dengan mantan kekasihnya dulu?” tanya Mia memperhatikan sepatunya yang berjalan menginjak tanah basah, sebelumnya sempat hujan. “Namanya Do Kyungsoo.”
Louis berhenti berjalan, dia memandang Mia yang ikut berhenti dan berbalik menatapnya sambil tersenyum miris. Sorot mata lelaki itu menunjukkan keterkejutannya, bahkan jakunnya terlihat bergerak sebentar pertanda sang empu menelan ludahnya.
“Aku memberimu pilihan sekarang, kumohon jangan merasa egois karena keputusanmu dulu. Aku tak ada bedanya denganmu, keinginanku sekarang pun merupakan hasil dari keegoisanku,” jelasnya dengan mata yang berkaca-kaca. Ternyata saat seperti ini Mia alami juga, di mana ia membeberkan yang sebenarnya pada Louis. “aku ingin ingatan Jihyun kembali dan menolong seseorang yang pernah aku katakan sebelumnya. Si lelaki yang kondisinya memburuk.”
“…”
“Dia Do Kyungsoo, orang yang pernah Jihyun cintai sebelum kecelakaan. Aku egois, bukan?”
Kemudian selanjutnya Mia bercerita sesingkat yang ia bisa soal sebab kondisi Kyungsoo yang memburuk itu. Menceritakan sesuatu yang tak bisa begitu saja diterima akal sehat Louis karena saking anehnya. Bahkan hubungannya dengan sang empu dijelaskan supaya Louis tahu bahwa Mia cukup lelah dengan keberadaannya sekarang.
Biar bagaimanapun Mia hanya orang lain, kan?
Louis menggeleng, ada satu dari sekian banyak hal yang tak dimengertinya sekarang. Mungkin karena yang satu ini benar-benar mengganggunya setelah Mia mengatakan siapa itu Do Kyungsoo.
“Tapi bukankah dengan menunjukkan keberadaan Jihyun … itu berarti kau tak bisa menjamin untuk dapat bersamanya?” tanya Louis merasakan rintikan hujan kembali turun membasahi bumi.
Mia tersenyum dan menjawab, “Sejak awal … Jihyun memang bukan tandinganku.”
“Lalu kenapa kau masih peduli pada Kyungsoo? Kenapa kau berusaha sampai sejauh ini?”
Mia tak menjawab, membiarkan rintikan hujan membasahi bajunya.
***
Louis memijat keningnya, kini rasanya masuk akal kenapa Mia kukuh ingin tahu kecelakaan yang menimpanya dan Jihyun. Kini ia sadar apa maksud Mia terus menanyakan tangan Jihyun yang tak bisa bergerak banyak itu.
Semua karena Kyungsoo.
Ia menenggelamkan diri di tumpuan tangan, berpikir untuk mengambil keputusan. Walau setelah itu hasilnya tetap sama. Louis ingin memberikan keputusan ini pada Jihyun yang selama ini hanya mengikuti kemauannya.
“Jihyun?” panggil Louis bangkit dari teras kayu di depan pintu ke luar dan masuk ke dapur di mana Jihyun sedang berdiri diam di samping kompor. “Kau baik-baik saja?”
“Mana mungkin baik-baik saja setelah tahu semuanya?” tanya Jihyun datar. “Bahkan setelah cerita kebenarannya terungkap, aku tetap tak ingat apa-apa.”
“Setelah ini semuanya terserah padamu. Kau ingin pulang dan bertemu keluargamu atau bagaimana, aku takkan ikut campur. Aku ke sini hanya untuk minta maaf atas semua yang terjadi.” Louis mencium sekilas kening Jihyun dan mengusap surai hitamnya. Kemudian pergi ke kamar setelah mengatakan isi pikirannya, meninggalkan Jihyun yang masih sibuk memikirkan banyak hal.
Tidak, Jihyun tidak menyalahkan Louis karena tak mengatakan yang sebenarnya sejak dulu. Walaupun rasa kecewa sempat membuatnya enggan melihat Louis berkeliaran di rumah bahkan tadi saja ia ingin menepis tangan lelaki tersebut dari kepalanya.
Tapi Jihyun pun hanya bisa melamun sekarang. Bagaimanapun juga dia tak bisa membohongi hatinya sendiri yang merasa sangat bersalah pada Hana, kedua anaknya meninggal menggantikan mereka. Telinganya saat ini bisa menangkap jelas isakan dari kamar wanita tua itu, perasaannya seperti disayat pisau dengan perlahan.
Orang yang selama ini merawatnya menangis, menguatkan diri untuk keputusan yang akan diambilnya nanti.
“Tapi ini bukan tempatku …” lirihnya mengusap wajah dengan kedua tangannya. “… maaf, halmeoni.”
***
Mendengar kabar dari Louis, ternyata Jihyun memilih untuk pulang ke Seoul dan bertemu orang tuanya. Mia sendiri membantu dengan memberitahu kedua orang tua dari mereka untuk saling bertemu, lalu aksi tangis-tangisan serta ungkapan rasa syukur menjadi bukti betapa bahagianya keluarga Jihyun serta Louis.
Kantor polisi dibuat sibuk kembali dengan kasus lama, media juga kembali menyorot untuk mengguncangkan Korea. Sampai semua orang tahu bahwa dari kecelakaan saat itu masih ada yang selamat dan hidup dengan baik sampai sekarang.
Mia diserbu banyak pertanyaan. Entah dari pihak berwajib, wartawan, bahkan teman-temannya yang tak menyangka bahwa ini semua juga ada hubungannya dengan perempuan tersebut. Mia ikut terseret sibuk walau waktunya masih ia sisihkan demi bertemu Kyungsoo.
Genap satu bulan setelah kepulangan Jihyun dan Louis ke ibu kota. Tidak ada satupun dari mereka yang memberinya kabar, mungkin karena masih temu-kangen bersama keluarga. Mia maklumi karena bagaimanapun juga Jihyun dan Louis dikabarkan meninggal lalu sekarang muncul dengan tiba-tiba.
Tulisannya masih berjalan, fangirlingan saja dia bisa, kebaikannya membantu Kyungsoo pun demikian. Yang berbeda adalah semangatnya untuk melakukan itu semua. Hari-harinya terasa hampa dan harapannya untuk membuat Kyungsoo bangun pun semakin mengendur dari waktu ke waktu.
Mia selalu ingin berbicara pada Jihyun soal Kyungsoo, tapi ternyata tak semudah itu untuk melakukannya. Jihyun terlalu sibuk berobat dan keluarganya menyita perhatian perempuan tersebut. Rasanya seperti pupus harapan.
Hari ini hujan mengguyur, beberapa suara guntur terdengar cukup keras. Mia menggenggam erat tangan Kyungsoo yang berwarna putih pucat, tak lupa ia perhatikan pipinya yang semakin tirus. Dokter baru saja mengecek ke rumahnya dan mengatakan bahwa Kyungsoo mungkin harus dibawa ke rumah sakit lagi.
“Kyungsoo bangunlah …” bisiknya putus asa. “… Jihyun sudah kembali.”
Baekhyun mengalihkan atensinya sambil mendecak. Bagaimana bisa Mia mengungkit soal Jihyun di saat semua orang yang melihatnya saja sudah tahu kalau perempuan itu mengkhianati ucapannya? Pikir Baekhyun.
Kalau boleh jujur, setiap hari kalau dia mengintip di celah pintu rasanya Baekhyun selalu ingin berteriak agar Mia berhenti menyebut nama Jihyun. Sejak kepulangannya ke Seoul, hanya nama perempuan itu yang ia jadikan bahan obrolan dengan kembarannya. Miris sekali.
Ia merongoh sakunya, ponsel yang ia simpan di sana bergetar karena telpon seseorang. Baekhyun segera menyingkir untuk menerima panggilan dari nomor yang tak dikenalnya. “Halo?”
“Halo?” Baekhyun diam, napasnya tercekat walau ekspresinya tetap biasa. “Ini aku, Jihyun.”
“Ya, aku tahu.”
Ada keheningan yang cukup lama sampai akhirnya Jihyun bertanya, “Mia ada di rumahmu? Kalau iya tolong bilang padanya aku ingin membicarakan sesuatu.”
“…”
“Soal … Kyungsoo.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Wall
FanfictionKetika si pengendali mimpi bertemu dengan Author Fanfiction yang mengandalkan mimpi untuk tulisannya. Ada yang tahu jika mimpi sebenarnya bisa dikendalikan? Jika tidak, ayo berkenalan dengan Mia Melody. Gadis pengangguran yang punya pekerjaan sampin...