PICA ? [1]

1.9K 167 36
                                        

Bahasa semi-baku

---

Perempuan berambut panjang berkacamata besar sedang menopang dagu. Tidak tahu apa yang mengganggu pikirannya. Bibirnya manyun. Sesekali menepis air yang jatuh mengenai pipinya. Sepertinya ia memang sedang galau karena sesuatu.

"Yang udah berlalu gak ada gunanya disesali."

Celetukan si kakak rupanya tidak membuat ia beranjak dari posisinya.

"Dijadiin pelajaran supaya ke depannya gak kayak gitu lagi. Lo itu harus bangkit."

"Kalo bangkit dengan rasa bersalah, apa itu harus?"

"Harus dong."

Yuna masih terus menyeka pipinya yang basah. Kegiatan melamunnya lebih mengasyikkan daripada menggubris kicauan kakaknya di belakang. Merasa diabaikan, perempuan bernama Jessi itu mendesis.

"Dek."

"Oke gue salah."

"Dek."

"Tapi bukan sepenuhnya salah gue. Jadi gue gak salah."

"Coba deh lo kesini!"

"Kenapa gak kakak aja yang kesini?" Si kakak berdecak gemas. "Gue masih nyaman di sini," lanjut Yuna yang masih setia memandang hujan dari kaca yang berembun.

Jessi menyentak kepala dan mendesah kesal, "Oy itu genteng bocor! Ntar dikiranya mama lo habis main hujan-hujanan di luar karna basah kuyup."

Yuna menyatukan manik matanya dan bergulir ke atas. Dia memegang poninya yang lepek karena air tetesan dari atas yang juga membasahi pipi. Lalu bergeser dan meletakkan baskom di sana untuk menampungnya.

"Bukannya kemarin udah dibenerin ya kak?"

"Gak jadi, kemarin Pak John harus nemenin istrinya ke dokter."

"Istrinya sakit?"

"Bukan, kucingnya yang sakit. Pak John nemenin istrinya ke dokter hewan."

"Sakit apa emang? Bukan karna jatuh kan? Kalo iya berarti dia temen baru gue. Temen gue nambah satu setelah hujan dan gue seneng." Yuna masih dengan muka lempengnya.

Jessi terdiam sejenak dan mengerjap. Masih mencerna hubungan antara kucing Pak John dan teman yang baru saja diucapkan Yuna.

"Maksud lo dek?"

"Jatuh itu sakit kak. Gak luka di fisik tapi membekas banget di hati. Gue, hujan dan kucing Pak John bernasib sama. Kami... jatuh."

"Mulai..." Jessi membuang pandangan sambil menghembuskan nafas malas.

"Gue kurang keras apalagi sih kak? Gue udah bimbel sana-sini. Ujung-ujungnya buang-buang duit doang. Gak ada hasilnya. Tiap hari lembur belajar juga sia-sia. Kenapa sih kak mereka jahat sama gue? Gak ngertiin banget posisi gue yang lagi bawa nama sekolah--"

Jessi beranjak keluar meninggalkan adiknya yang setia berceloteh mencurahkan isi hatinya. Tidak lama, Jessi kembali dengan semangkuk batu es di dalamnya dan mengulurkan pada Yuna.

Yuna yang tadinya masih mengoceh seketika berhenti dan mengambil alih mangkuk lalu mendekapnya. Mengambil satu kotak kecil es untuk dimasukkan ke dalam mulut. Suara kriuk gurih pun terdengar. Yuna menikmatinya. Mengunyah dan terus mengunyah.

Jessi menarik senyum lebar dan bernafas lega. Sebenarnya Jessi tidak ingin melakukan itu, tapi hanya itu yang bisa membuat mulut Yuna berhenti mengoceh.

Terhitung sudah kedua puluh kali Yuna menceritakan topik yang sama padanya. Dan itu tepatnya setiap hujan turun. Yuna yang galak dan ceria mendadak galau karenanya.

SHORT STORIES || YoonHunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang